Selamat Datang..

Selamat Datang..

Rabu, 08 Juni 2011

Emperisme Filsafat

Bagian I
PENDAHULUAN

Filsafat adalah ilmu yang membicarakan tentang kebijaksanaan, membicarakan tingkat kebijaksanaan sangatlah relative dan tentu saja subjektif, perlu dibahas untuk mencari dasar landasan menemukan kebijaksanaan.
Filsafat juga menjadi ilmu untuk mencari pengetahuan yang bedasarkan pikiran belaka, tanpa bedasarkan teori yang ada sehingga sistem yang digunakan layaknya metode atau cara induksi. Mengapa demikian……….? Perlu kita  ketahui bahwa filsafat merupakan bidang pengetahuan  tersendiri yang berbeda dengan pengetahuan yang lain. Oleh karena itu, filsafat harus  dipelajari dengan cara tersendiri pula. Bila pengetahuan selain filsafat dapat dipelajari lewat penelitian atau laboratorium, maka filsafat hanya dapat dipelajari dengan akal sehat dan penalaran yang tajam. Selain itu, pengkajian filsafat juga harus memiliki sikap mental, yakni menghilangkan dari dalam dirinya sifat a priori, bahwa dirinya telah mengetahui segala sesuatu, sebab seseorang tidak mungkin dapat mempelajari suatu pengetahuan yang sudah  diketahuinya. Berfikir merupakan jalan memperoleh ilmu dalam filsafat sehingga timbul istilah dalam filsafat, orang-orang filsafat adalah orang yang cinta pada kebajikan, The love for wisdom.
Dalam ilmu filsafat modern terdapat banyak metode-metode pemikian tentang filsafat, salah satunya Rasionalisme sebagaimana yang telah kita pelajari minggu lalu. Dan kali ini kami akan sedikit membahas tentang metode pemikiran selanjutnya yaitu metode yang digunakan oleh para filosof mengenai pemikiran mereka yang menyatakan bahwa kebenaran datang melalui pengalaman indrawi atau dinamakan dengan Empirisme.











Bagian II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Empirisme
Kata empirisme berasal dari kata yunani, emperia, yang berarti pengalaman inderawi[1]. Oleh karena itu aliran ini berpendapat bahwa empiri atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan, baik pengalaman yang batiniah maupun pengalaman yang lahiriah. Akal bukan jadi sumber pengetahuan tetapi akal mendapat tugas untuk  mengolah bahan-bahan yang di peroleh dari pengalaman[2]. Aliran ini memandang bahwa fisafat itu tidak ada gunanya bagi kehidupan, sedangkan yang berguna adalah ilmu yang di peroleh dari pengalaman, karena memang hanya pengetahuan inilah yang pasti benar[3].
Empirisme adalah suatu doktrin yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal.
Sebagai suatu dotrin, emperisme adalah lawan daripada rasionalisme. Untuk memahami doktrin ini perlu dipahami lebih dahulu dua ciri pokok empirisme, yaitu mengenai teori tentang makna dan teori tentang pengetahuan[4].
Teori pertama yaitu Teori makna, pada aliran empirisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal ilmu pengetahuan, yaitu asal usul idea atau konsep. Pada abad pertengahan teori ini diringkaskan dalam rumus nihil est in intellectu quod non prius fuerit in sensu (tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita selain di dahului oleh pengalaman). sebenarnya pernyataan ini adalah pernyataan Tesis Locke yang terdapat di dalam bukunya An essay concerning human understanding, yang diterbitkannya tatkala ia menentang ajaran idea bawaan  (innate idea) pada orang-orang rasionalis. Jiwa itu, tatkala orang dilahirkan, keadaannya kosong, laksana kertas putih atau tabula rasa, yang belum ada tulisan diatasnya, dan setiap idea yang diperolehnya mestilah datang dari pengalaman, yang dimaksud pengalaman disini ialah pengalaman inderawi.
Pada abad ke 20 kaum empiris cenderung menggunakan teori makna, filsafat empirisme tentang teori makkjna amat berdekatan dengan aliran positifisme logis dan filsafat Ludwig Wittgenstein, akan tetapi, teori makna dan empirisme selalu harus dipahami lewat pengalaman. Oleh karena itu bagi orang empiris jiwa dapat di pahami sebagai gelombang pengalaman kesadaran, materi sebagai pola (pattern) jumlah yang dapat diindera, dan hubungan kausalitas sebagai urutan peristiwa yang sama.
Teori kedua yaitu teori pengetahuan, mengenai teori ini kaum empiris berbeda pendapat dengan kaum rasionalis. Kaum rasionalis berpendapat bahwa ada beberapa kebenaran umum seperti “ setiap kejadian tentu mempunyai sebab”, dasar-dasar matematika, dan beberapa prinsip dasar etika, dan kebenaran-kebenaran itu benar dengan sendirinya yang dikenal dengan istilah kebenaran a priori yang diperoleh lewat intuisi rasional itu. Kaum empiris menolak pendapat tersebut, menurul kaum empiris tidak ada intuisi rasioanl itu. Semua kebenaran yang disebut tadi adalah kebenaran yang diperoleh lewat observasi, jadi ia kebenaran a posteriori.

B.     Tokoh-tokoh Empirisme
1.      Francis Bacon (1210-1292)
Dari mudanya Bacon sudah mempunyai minat terhadap filsafat. Akan tetapi waktu dewasa ia menjabat pangkat-pangkat yang tinggi di kerajaan inggris. Kemudian ia diangkat menjadi golongan bangsawan. Setelah ia berhenti dari jabatannya barulah ia mulai menuliskan filsafatnya.
Sebagai penjabat yang tinggi ia tidak terlalu mengutamakan kebenaran, yang paling penting baginya adalah gunanya. Apakah guna pengetahuan, jika tidak bermanfaat? Bukanlah renungan yang ada melainkan fakta! Bukan yang abstrak-abstrak, hasil renungan yang ada, melainkan fakta di dunia ini. Dari itu pengetahuan yang sebenarnya tentu saja pengetahuan yang di terima orang melalui persentuhan inderanya dengan dunia fakta alam. Pengalamanlah sumber pengetahuan yang sejati.
Dengan demikian bagi BACON cara mencapai pengetahuan itupun segera nampak dengan jelasnya. Haruslah pengetahuan itu di capai dengan mempergunakan induksi. Kami sudah terlalu lama, demikian BACON terpengaruhi oleh sistem dedukatif. Dari dogma-dogma di ambil kesimpulan, itu tidak benar. Haruslah kita sekarang memperhatikan yang kongkrit, mengumpulkan mengadakan kelompok-kelompok, itulah tugas pengetahuan dan ilmu.
Dalam hidup ini orang masih juga mempergunakan hal-hal yang mutlak, masih mempergunakan agama, bahasa. Tetapi sebetulnya itu kekeliruan belaka, khayal. BACON mempergunakan istilah idol, ( yunani eidola – khayal, kekeliruan, hantu). Demikian BACON membuka pintu gerbang yang luas bagi empirisme[5].

2.      Thomas Hobbes (1588-1679)
Tokoh ini di lahirkan sebelum waktunya ketika ibunya tercekam rasa takut oleh ancaman penyerbuan armada Spanyol ke Inggris, Hobbes merupakan anak seorang pendeta[6]. Ia belajar di universitas Oxford , kemudian menjadi pengajar pada suatu keluarga yang terpandang. Hubungan dengan keluarga tersebut memberi kesempatan kepadanya untuk membaca buku-buku, bepergian ke Negeri asing dan berjumpa dengan tokoh-tokoh penting. Simpatinya pada sistem kerajaan mendorongnya untuk lari ke prancis pada waktu Inggris dilanda perang saudara. Di sanalah ia mengenal filsafat Descartes dan pemikir-pemikir Prancis lainnya. Karena sangat terkesan dengan dengan kesempatan sains, ia berusaha menciptakan filsafat atas dasar matematika.
Hobbes menolak tradisi skolastik dalam filsafat dan berusaha menerapkan konsep-konsep mekanik dari alam fisika kepada pikirannya tentang, manusia dan kehidupan mental. Hal ini mendorong untuk menerima, meterialisme, mekanisme, dan determinisme. Karya utamanya dalam filsafat adalah leviathan (1651), mengekspresikan pandangan tentang hubungan antara alam, manusia dan masyarakat. Hobbes melukiskan manusia-manusia ketika  mereka hidup di alam keadaan yang ia namakan nature ( keadaan alamiah) yang merupakan kondisi manusia sebelum di cetuskannya suatu Negara atau masyarakat beradab. Kehidupan dalam masa alamiah adalah buas dan singkat, karena merupakan perjuangan dan peperangan yang terus menerus. Oleh karena manusia mengiginkan kelangsungan hidup dan perdamaian, ia mengalihkan kemauannya pada kemauan Negara dalam bentuk kontrak sosial yang membenarkan kekuasaan tertinggi yang mutlak.
Sebagaimana umumnya penganut empirisme, Hobbes beranggapan bahwa pengalaman merupakan permulaan segala pengenalan. Pengenalan intelektual tidak lain daripada semacam perhitungan, dari penggabungan data-data inderawi yang sama dengan cara berlainan. Tentang dunia dan manusia, ia dapat dikatakan sebagai penganut materialistis. Karena itu ajaran Hobbes merupakan sistem materialistis yang pertama dalam sejarah modern. Berbeda dengan Francis Bacon yang meletakkan eksperimen-eksperimen sebagai metode penelitian, Hobbes memandangnya sebagai doktrin.
Hobbes juga tidak menyetujui pandangan Descartes tentang jiwa sebagai substansi rohani. Menurut Hobbes, seluruh dunia termasuk juga manusia, merupakan suatu proses yang berlangsung dengan tiada henti-hentinya  atas dasar hukum-hukum mekanisme saja, adapun ajaran Hobbes yang termasyhur adalah pendapatnya tentang filsafat politik. Ia mengingkari bahwa manusia menurut kodratnya adalah makhluk sosial. Satu-satunya kecondongan kodrati manusia adalah mempertahankan adanya. Hal tersebut mengakibatkan adanya egoisme radikal: homo-homis lupus (manusia adalah manusia bagi manusia). Tetapi dalam keadaan demikian, manusia justru tidak mampu mempertahankan adanya. Itulah sebabnya manusia mengadakan perjanjian, yaitu mereka akan takluk kepada satu kewibawaan. Dengan demikian, negarapun timbul, tetapi setelah Negara itu timbul, perjanjian itu tidak lagi di cabut, sehingga dengan demikian Negara mempunyai kekuasaan yang absolute terhadap warga Negara.
Filsafat Hobbes mewujudkan suatu sistem yang lengkap mengenai keterangan yang lengkap tentang “yang ada” secara mekanis. Dengan demikian ia merupakan seorang materialistis dibidang tentang ajaran antropolog, serta seorang absolutis di bidang ajaran tentang Negara.


·         Filsafat Materialisme
Hobbes juga menganut filsafat materialisme. Materialisme yang dianut Hobbes adalah: segala sesuatu yang bersifat bendawi. Yang dimaksud bendawi adalah segala sesuatu tidak bergantung kepada gagasan kita. Doktrin atau ajarannya menyatakan bahwa segala kejadian adalah gerak, yang berlangsung karna keharusan. Realitas segala yang bersifat bendawi, yaitu tidak bergantung kepada gagasan kita, terhisap di alam gerak itu. Dengan demikian maka pengertian substansi di ubah menjadi suatu teori aktualitas. Segala objektivitas di dunia luar bersandar  kepada suatu proses tanpa pendukung yang berdiri sendiri. Ruangan tau kekuasaan tidak memiliki “ada” sendiri. Ruang adalah gagasan tentang hal yang berada itu sendiri. Waktu adalah gagasan tentang gerak. Berdasarkan pandangannya itulah ia melahirkan filsafatnya tentang manusia.

·         Manusia
Menurut Hobbes manusia tidak lebih daripada suatu bagian alam bendawi yang mengelilinginya. Maka segala sesuatu yang terjadi pada diri manusiapun dapat di terangkan seperti cara-cara yang terjadi pada kejadian-kejadian alamiah, yaitu secara mekanis. Manusia itu hidup selama beredar darahnya dan jantungnya bekerja, yang di sebabkan karena pengaruh mekanis dari hawa atmosfir. Dengan demikian, manusia yang hidup tiada lain adalah gerak anggota-anggota tubuhnya. (tentu saja pendapat seperti ini jika di bandingkan dengan islam amat bertentangan karena manusia itu walaupun secara fisik [mekanis] telah mati namun jiwanya tetap hidup. Bahkan seorang mukmin kematian adalah kelanjutan hidup yang kekal dan abadi).

·         Jiwa
Ajaran Hobbes tentang jiwa itupun sejalan dengan ajaran filsafat dasar, sehingga jiwa baginya merupakan kompleks dari proses-proses mekanis di dalam tubuh. Akal bukanlah pembawaan, melainkan hasil perkembangan karena kerajinan.ikhtiar adalah suatu awal gerak yang kecil. Awal gerak nan kecil ini kalau diarahkan untuk menuju kepada sesuatu di sebut dengan keinginan yang sama dengan kasih, jika diarahkan untuk meninggalkan sesuatu di sebut keengganan atau keseganan yang sama dengan keinginan dan keengganan, tetapi hal yang sama dengan itu. Namun demikian yang tekuat adalah jikalau yang terjadi bentrokan. Oleh sebab itu, Hobbes merupakan orang yang tidak mengakui kehendak bebas.

·         Teori Pengenalan dan pengalaman
Sebagai penganut empirisme, pengenalan atau pengalaman. Pengenalan adalah awal daripada pengalaman. Pengalaman awal dari pada segala  pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang asas-asas yang di peroleh dan diteguhkan oleh pengalaman. Dengan demikian hanya pengalamanlah yang memberi kepastian. Berbeda dengan kaum rasionalis, Hobbes memandang bahwa pengenalan dengan akal hanyalah mempunyai fungsi mekanis semata-mata. Karena pengalaman dengan akal mewujudkan suatu proses penjumlahan dan pengurangan. Pengenalan dengan akal mulai dengan kata-kata (pengertian-pengertian yang hanya  mewujudkan tanda-tanda yang menurut adat saja dan yang menjadikan ruh manusia dapat memiliki gambaran dari hal-hal yang di ucapkan dengan kata-kata. Pengertian-pengertian umum hanyalah nama belaka, yaitu nama-nama bagi gambaran-gambaran ingatan tersebut, bukan nama bendanya, nama-nama itu tidaklah mempunyai nilai-nilai objektif. Pendapat atau pertimbangan adalah penggabungan antara dua nama, sedangkan silogisme adalah suatu soal hitung, dimana orang bekerja dengan tiga nama.
Yang di maksud dengan pengalaman ialah keseluruhan atau totalitas pengamatan yang disimpan di dalam ingatan atau digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa lalu.
Pengamatan inderawi terjadi karena gerak benda-benda di luar kita menyebabkan adanya suatu gerak didalam indera kita. Gerak ini diteruskan ke otak  dan dari otak ke jantung. Di dalam jantung timbullah reaksi suatu gerak dalam jurusan yang sebaliknya. Pengamatan yang sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi tadi.
Sasaran yang diamati adalah sifat-sifat inderawi. Penginderaan di sebabkan karena tekanan objek atau sasaran. Kualitas di dalam objek-objek, yang sesuai dengan penginderaan kita, bergerak menekan indera kita. Warna yang kita lihat, suara yang kita dengar bukan berada dalam gambaran tentang sebab yang menimbulkan penginderaan. Ingatan rasa senang dan tidak senang dan segala gejala jiwani, bersandar semata-mata pada asosiasi gambaran-gambaran murni yang bersifat mekanis.
Untuk mempertegas pandangannya, Hobbes tampak sekali sebagai penganut nominalisme, dimana ia menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang universal, kecuali nama belaka. Konsekuensi pendapat ini adalah bahwa ide dapat di gambarkan melalui kata-kata. Dengan kata lain, tanpa kata-kata ide tidak dapat di gambarkan. Tanpa bahasa tidak ada kebenaran atau kebohongan. Sebab apa yang dikatakan “benar” atau “tidak benar” itu hanya sekedar sifat saja dari kata-kata. Setiap benda diberi nama dan membuat ciri atau identitas-identitas di dalam bentuk pikiran orang[7].


3.      John Locke (1632-1704)
Locke adalah anak seorang ahli hukum, ia menyukai teologi dan filsafat tetapi ia juga belajar ilmu kedokteran dan penyelidikan kimia[8]. Locke termasuk orang yang mengagumi Descartes, tetapi ia tidak menyetujui ajaran Descartes. Bagi Locke mula-mula rasio manusia harus di anggap sebagai “lembaran kertas putih” (as a white paper) dan seluruh isinya berasal dari pengalaman. Bagi locke, pengalaman ada dua : pengalama lahiriah (sensation) dan pengalaman batiniah (reflection). Kedua sumber pengalaman ini menghasilkan ide-ide tunggal (simple ideas). Ruh manusia bersifat sama sekali pasif dalam menerima ide-ide tersebut. Namun demikian, ruh mempunyai aktivitas juga, karena dengan menggunakan ide-ide tunggal sebagai batu bangunan, ruh manusiawi dapat membentuk ide majemuk (complex ideas), misalnya idea substansi. Locke kemudian menyatakan dalam dunia luar memang ada substansi, tetapi tidak hanya mengenal ciri-cirinya saja.
            Pandangan locke mengenai lembaran putih manusia mirip sekali dengan teori fitrah dalam filsafat islam yang di dasarkan atas pernyataan Al-qur’an, surah ke-30 Ar-rum ayat ke 30. fitrah adalah bawaan manusia sejak lahir yang didalamnya terkandung tiga potensi dengan fungsinya masing-masing.
·         Pertama, potensi ‘aql yang berfungsi untuk mengenal Tuhan, mengesakan Tuhan, dan mencintai-Nya.
·         Kedua, potensi syahwat yang berfungsi untuk menginduksi objek-objek yang menerangkan.
·         Ketiga, potensi gadlab yang berfungsi untuk menghindari segala hal yang membahayakan.
Ketika manusia dilahirkan ketiga potensi ini telah dimilkinya. Namun demikian, agar potensi-potensi tersebut beraktualisasi perlu ada bantuan dari luar dirinya. Dalam filsafat islam, kedua orang tua anak yang terlahir itulah yang pertama-tama berkewajiban memberikan pengetahuan untuk mengaktualisasikan potensi-potensi tersebut. Dengan kata lain orang tualah yang menggoreskan tulisan di atas lembaran putih si anak yang terlahir itu[9].

4.      George Berkeley (1665-1753)
Berkeley yang lahir di Irlandia ini menjadi Uskup Anglikan di Cloyne (Irlandia). Sebagai penganut empirisme, Brekeley mencanangkan teori yang dinamakan immaterialisme atas dasar prinsip-prinsip empirisme.  Jika Locke masih menerima substansi-substansi diluar kita, maka Brekeley berpendapat bahwa sama sekali tidak ada substansi-substansi material, yang ada hanyalah pengalaman dalam ruh saja.  Esse estpercipi (being is being perceived), yang artinya, dalam dunia material sama saja dengan ide-ide yang saya alami.  Sebagaimana dalam bioskop, gambar-gambar film pada layar putih dilihat para penonton sebagai benda-benda yang riil dan hidup.  Demikian pula, menurut pemikiran brekeley, ide-ide membuat saya melihat suatu dunia material.  Dan bagaimana saya sendiri? Berkeley mengakui bahwa aku merupakan suatu substansi ruhani.  Ia juga mengakui adanya Allah, sebab Allahlah yang merupakan asal-usul ide-ide yang saya lihat.  Jika kita memberikan pengetahuan di mana cinta juga mempunyai peranan.  Dengan rasio kita mempelajari ilmu pasti dan ilmu alam, tetapi dengan hati kita mencapai kebenaran-kebenaran yang lebih tinggi, terutama Tuhan Allah.  Dengan semboyannya berikut ini, yang membawa kemasyhurannya kita dengan mudah mengingat dasar pemikiran filsafatnya, le Coeur Anaximenes ses raisons que la raison ne connait point, yang diartikan dalam bahasa Inggris: The heart has its reasons which the reason does not understand (hati-hati memiliki rasionya sendiri yang tidak dapat dipahami oleh rasoi itu sendiri).   

5.      David Hume (1711-1776)
Hume menjadi terkenal oleh buku yang disebutnya An Enquiry concerning human understanding.  Waktu mudanya ia juga berpolitik tetapi tak terlalu mendapat sukses.  Dalam filsafsatnya  ia merupakan empiris yang konsekwen.  Ia menganalisa pengertian Subtansi.  Seluruh pengetahuan itu tidak lain dari jumlah pengalaman kita.  Dalam budi kita tak ada suatu idea yang tidak sesuai dengan impression yang disebabkan ‘hal’ diluar kita.  Apa saja yang merupakan pengetahuan itu hanya disebakan oleh pengalaman.  ‘Hal’-nya sendiri tak dapat kita kenal, kita hanya mendapat impression itu.  Adapun yang bersentuhan dengan indra kita itu sifat-sifat atau gejala-gejala dari hal tersebut.  Yang demikian acapkalinya, sehingga kita menganggap mempunyai pengertian tentang suatu hal, tetapi sebetulnya tak adalah itu.  Substansi itu hanya anggapan, khayal, sebenarnya tak ada.
            Begitu pula pengertian lainnya yang tetap dan umum semuanya tak ada halnya.  Kita tak mengetahui kesebaban, yang kita kenal hanya urut-urutan kejadian, misalnya: pukulan dan kemudian kita rasa sakit.  Oleh Karena itu kerapkali merasai sakit setelah pukulan, maka kemudian ada assosiasi antara pukul dan sakit dan kita mengatakan, bahwa yang menyebabkan sakit itu pukul.  Tetapi sebenarnya tidak demikian.  Itu hanya anggapan kita saja.
            Dengan amat tegas HUME hanya menerima persentuhan indra dengan hal luas, hanya itu saja, segala kesimpulan yang diadakan orang itu tak ada dasarnya sama sekali.  Menurut HUME pengetahuan budi tak lagi dapat dipercaya, dari empirisme ia sebetulnya sampai kepada skepsis.

Walaupun bagaimana permacam-macam yang terdapat pada pendapat-pendapat ahli pikir yang kami masukkan kegolongan filsafat empirisme, semuanya melenyapkan kedaulatan budi atau rasio.  Pengalaman didewa-dewakan benar dengan akibat seperti ternyata pada HUME, dipandang dari sudut filsafat sukar ada kepastian.  Sekali lagi :  filsafat empirisme membuka jalan keskepsis seluas-luasnya.  Disana-sini hal ini dirasai benar, karena demikian derajat ilmupun merosot.  Sebab bagaimana ilmu itu mendasarkan pendahuluan pengetahuan atas pengalaman, toh selalu mempergunakan putusan-putusan yang berlaku umum dengan memakai pengertian yang umum pula.  Adapun empirisme sama sekali tak mengakui kebenaran dan dasar keumuman ini. 
            Walaupun demikian empirisme ini berguna juga dalam filsafat pada umumnya.  Ahli pikir lalu memperhatikan dengan sepenuh hati arti dan tugas pengalaman dalam penyelidikan.  Karena empirisme ini pula filsafat memperhatikan lebih cermat lagi manusia sebagai keseluruhan[10].   
  
6.      Herbert Spencer (1820-1903)
Filsafat  Herbert Spencer (1820-1903) berpusat pada teori evolusi. Sembilan tahun sebelum terbitnya karya Darwin yang terkenal, The Origen of Species (1859), Spencer sudah menerbitkan bukunya tentang teori evolusi.
            Empirisismenya terlihat jelas dalam filsafatnya tentang the great unknowable. Menurut  Spencer, kita hanya dapat mengenali fenomena-fenomena atau gejala-gejala. Memang benar di belakang gejala-gejala itu ada suatu dasar absolut, tetapi yang absolute itu tidak dapat kita kenal. Secara prinsip pengenalan kita hanya menyangkut relasi-relasi antara gejala-gejala. Di  belakang gejala-gejala ada sesuatu yang oleh Spencer disebut “yang tidak diketahui” (the great unknowable). Sudah jelas, demikian Spencer, metafisika menjadi tidak mungkin  (Bertens, 1979:76).
   








Bagian III
                                                        KESIMPULAN
                        Empirisme adalah suatu doktrin yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan, serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal.
Sebagai tokohnya adalah Thomas Hobbes, Jhon Locke, David Hume. Karena adanya kemajuan ilmu pengetahuan dapat dirasakan mamfaatnya, pandangan orang terhadap filsafat mulai merosot. Hal ini terjadi karena filsafat dianggap tidakk berguna lagi bagi kehidupan. Pada sisi lain, ilmu pengetahuan besar sekali mamfaatnya bagi kehidupan kemudian beranggapan bahwa pengetahuan yang bermamfaat pasti dan benar diperoleh hanya lewat indra (empiri) dan empirilah satu satunya sumber pengetahuan pengetahuan tersebut lahir dengan empirisme.
Diantara pemikiran pemikiran para filosof ada diantara mereka yang berpendapat mirip  seperti pernyataan dalam Al-Quran yaitu Jhon Locke, Bagi Locke mula-mula rasio manusia harus di anggap sebagai “lembaran kertas putih” (as a white paper) dan seluruh isinya berasal dari pengalaman.hal ini sejalan dengan surah Ar-Rum ayat  ke 30. fitrah adalah bawaan manusia sejak lahir yang didalamnya terkandung tiga potensi dengan fungsinya masing-masing.
Pertama, potensi ‘aql yang berfungsi untuk mengenal Tuhan, mengesakan Tuhan, dan mencintai-Nya.
Kedua, potensi syahwat yang berfungsi untuk menginduksi objek-objek yang menerangkan.
Ketiga, potensi gadlab yang berfungsi untuk menghindari segala hal yang membahayakan.










DAFTAR PUSTAKA

Drs. Surajiyo. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar (Cet. 3). Jakarta: P.T. Bumi Aksara, 2008.

Prof. Dr. Ahmad Tafsir. Filsafat Umum Akal Dan Hati Sejak Thales Sampai Capra (cet. 14). Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya, 2005.

Prof. dr. Juhaya. Aliran-aliran Filsafat dan Etika.  Jakarta: P.T. Kencana,  2008.

Prof. I. R. Poedjawijatna. Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat (cet.11). Jakarta: P.T. Rineka Cipta, 2002.

Suparlan Suhartono. Sejarah Pemikiran Filsafat Modern. Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2005.


[1] Prof. dr. Juhaya. Aliran-aliran Filsafat dan Etika, ( Jakarta: P.T. Kencana. 2008). Hal. 105
[2]  Drs. Surajiyo. Ilmu Filsafat suatu pengantar, (Jakarta: P.T. Bumi Aksara. 2008). Hal. 66
[3]  Suparlan Suhartono. Sejarah Pemikiran Filsafat Modern, (Jogjakarta. Ar-Ruz Media. 2005). Hal. 53
[4] Prof. Dr. Ahmad Tafsir. Filsafat Umum, (Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya. 2005). Hal 174
[5]  Prof. I. R. Poedjawijatna. Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, ( Jakarta: P.T. Rineka Cipta, 2002). Hal. 103-104
[6] Ibid,.
[7] Prof. dr. Juhaya. Aliran-aliran Filsafat dan Etika.. Hal. 109
[8] Prof. I. R. Poedjawijatna. Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat,. Hal. 105
[9] Prof. dr. Juhaya. Aliran-aliran Filsafat dan Etika.. Hal. 110
[10]  Prof. I. R. Poedjawijatna. Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat.. Hal. 107

Tidak ada komentar:

Posting Komentar