Selamat Datang..

Selamat Datang..

Kamis, 09 Juni 2011

Hadits mutawatir dan hadits Ahad


A. Hadits mutawatir
1. Pengertian Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain. Sedangkan menurut istilah ialah: “Suatu hasil hadits tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi,  yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta. Artinya:Hadits mutawatir ialah suatu (hadits)yang diriwayatkan  sejumlah rawi yang menurut adat, mustahil untuk mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatannya. Ada juga berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera,seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta, itu tidak termasuk ke dalam kategori hadits mutawatir. Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadits itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.  Apabila jumlah yang meriwayatkandemikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.

2. Syarat-syarat hadits mutawatir
Menurut ulama mutaakhirin, ahli ushul, suatu hadits dapat di tetapkan sebagai hadits mutawatir, bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a)      Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta.  Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak  memungkinkan bersepakat dusta.
·         . Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang yang merawikan. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
·         AshabusSyafi’i menentukan minimal 5 orang yang merawikan. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
b). Adanya keseimbangan antar perawi pada Thabaqat (tingkatan) pertama dengan thabaqat berikutnya.
Jumlah perawi hadits mutawatir, antara thabaqat pertama dengan thabaqat lainnya harus seimbang. Dengan demikian, bila suatu hadits di riwayatkan oleh dua puluh orang sahabat, kemudian di terima oleh sepulu Tabi’in, dan selanjutnya hanya di terima oleh lima Tabi’in, tidak dapat di golongkan sebagai hadits mutawatir, sebab jumlah perawinya tidak seimbang antara thabaqat pertama dengan thabaqat-thabaqat seterusnya.
Akan tetapi ada juga yang berpendapat, bahwa keseimbangan jumlah perawi pada tiap thabaqat tidaklah terlalu penting. Sebab yang diinginkan dengan banyaknya perawi adalah terhindarnya kemungkinan berbohong.



c). Berdasarkan tanggapan panca indera
            Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak di dengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.

3. pembagian Hadits Mutawatir
            Menurut sebagian ulama, hadits mutawatir itu terbagi menjadi dua, namun ada juga yang membaginya menjadi tiga yaitu di tambah dengan Hadits Mutawatir Amali[1].
·         Mutawatir lafzi
Mutawatir lafzi artinya hadits yang mutawatir periwayatannya dalam satu lafdzi[2].
·         Mutawatir maknawi
Mutawatir maknawi artinya hadits yang dinukkilkan oleh sejumlah orang yang musttahil mereka sepakat berdusta atau karena kebetulan. Mereka menukkilkan dalam berbagai bentuk, tetapi dalam suatu masalah atau mempunyai titik persamaan.
·         Mutawatir Amali
Mutawatir Amali Artinya sesuatu yang di ketahui dengan mudah, bahwa dia termasuk urusan agama dan telah  mutawatir antara umat islam, bahwa Nabi Muhammad SAW mengerjakannya, menyuruhnya, atau selain dari itu dan pengertian ini sesuiai dengan ta’rif ijma’.
4. Nilai hadits mutawatir
            hadits mutawatir mempunyai nilai ‘ilmu dharuri (yufid ila ‘ilmi al-dharuri) yakni keharusan untuk menerima dan mengamalkan sesuai dengan yang diberikan oleh hadits mutawatir tersebut sehingga membawa kepada keyakinan yang qath’i (pasti).

B. Hadits Ahad
1. pengertian hadits ahad
            Menurut bahasa kata Al Ahad jamak dari Ahad, yang berarti al wahid atau satu. Dengan demikian khjabar al wahid adalah suatu berita yang di sampaikan oleh satu orang. Sedangkan menurut Istilah ahli hadits (Abdul Wahab Khalaf), hadits ahad antara lain adalah Suatu hadits (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberitahuan hadits mutawatir; baik pemberita itu seorang, dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadits tersebut masuk ke dalam hadits mutawatir.
2. Pembagian hadits ahad
            ulama ahli secara garis besarnya membagi hadits ahad menjadi dua bagian, yaitu:
a). Hadits masyhur
 Masyhur menurut bahasa ialah al-intisyar wa al-dzuyu’ artinya sesuatu yang sudah tersebar dan populer, sedangkan menurut istilah adalah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat, tetapi bilangannya tidak sampai ukuran bilangan mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat, dan demikian pula setelah mereka.
Dinamakan hadits masyhur karena telah tersebar luas di kalangan masyarakat. Ulama Hanafiah mengatakan bahwa hadits masyhur menghasilkan ketenangan hati dekat kepada keyakinan dan wajib diamalkan, akan tetapi bagi yang menolaknya tidak dikatakan kafir.
Hadits masyhur ini ada yang berstatus shahih hasan dan dha’if, yang dimaksud dengan hadits masyhur shahih adalah hadits masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadits shahih, baik pada sanad maupun matannya, seperti hadits Ibnu Umar.
ااذ جا ء احد كم الجمعة فليغتسل (رواه البخا رى )
“bagi siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jum’at, hendaknya ia mandi”.(HR.Bukhari)
            Sedangkan yang di maksud dengan hadits masyhur hasan adalah hadits masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis hasan, baik mengenai sanad maupun matannya seperti sabda Rasulullah saw.
لا ضر ر و لا ضر ا ر
“jangan melakukan perbuatan yang berbahaya (bagi diri sendiri dan orang lain)”.
            Adapun  yang di maksud hadits masyhur dha’if adalah hadits masyhur yang tidak mempunyai syarat-syarat hadis sahih dan hasan, baik pada sanad maupun matannya, seperti hadits:
طلب العلم فرىضة عل كل مسلم و مسلمة
“menuntut ilmu wajib bagi muslim laki-laki dan perempuan”.


Macam-macam hadits masyhur
1)      Masyhur di kalangan ahli hadits yang menerangkan, bahwa Rasulullah SAW.membaca doa Qunut sesudah ruku’ selama satu bulan penuh, berdoa atas golongan Ri’il dan Zakwan[3]  hadits ini diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Iman Muslim dari riwayat Sulaiman al-Taini dari Abi Mijlas dari Anas. Hadits ini juga diriwayatkan dari Anas selain Sulaiman, serta oleh Sulaiman dari segolongan perawi lain.
2)      Masyhur di kalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama lain, dan di kalangan orang umum.
3)      Masyhur di kalangan ahli fikih.
4)      Masyhur di kalangan ahli ushul fiqh.
5)      Mashur di kalangan ahli sufi.
6)      Masyhur di kalangan ulama-ulama Arab.
7)      Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang kemasyhurannya hanya di kalangan tertentu, sesuai dengan disiplin ilmu dan bidangnya masing-masing.
2). Hadits ghairu masyhur
            Hadits ghairu mashur ini, oleh ulama ahli hadits di golongkan menjadi ‘aziz dan gharib
  • Hadits ‘Aziz
Kata ‘aziz berasal dari ‘aza- ya’izzu yang berarti la yakadu yujadu atau qalla wa nadar ( sedikit atau jkarang adanya), dan biasa berasal dari ‘Azza ya ‘Azzu Berarti Qawiya (kuat). Sedangkan menurut istilah hadits ‘aziz adalah hadits  ‘yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua thabaqat sanad. Dan ada juga yang mengatakan bahwa hadits ‘aziz dalah hadits yang di riwayatkan oleh dua orang atau tiga orang perawi.

·         Hadits gharib
Gharib menurut bahasa berarti al-munfarid (menyendiri) atau al- ba’id anaqaribihi (jauh dari kerabatnya). Ulama hadits mendifinisikan hadits gharib sebagai berikut:
“hadits yang di riwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya”.
Ibnu hajar mendefinisikan hadis gharib sebagai berikut:
“hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yangmenyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi”.
            Dilihat dari bentuk penyendirian perawi, maka hadits gharib di golongkan menjadi dua golongan, yaitu gharib mutlak dan gharib nisbi.
 Di kategorikan sebagai gharib mutlak apabila penyendirian itu mengenai personalisasinya, sekalipun penyendirian tersebut hanya terdapat dalam satu thabaqat. Penyendirian hadits gharib mutlak ini harus berpangkal di tempat ashlu sanad[4], yakni Tabi’i bukan sahabat.
Sedangkan hadits gharib yang tergolong gharib nisbi adalah apabila penyendirian itu mengenai sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi, penyendirian seorang rawi ini, seperti ini, bisa terjadi berkaitan dengan keadilan dan kedhabitan perawi atau mengenai tempat tinggal di kota tertentu.
*****
KESIMPULAN
ü  Hadits Mutawatir yaitu Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.Sedangkan menurut istilah ialah: “Suatu hasil hadits tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi,  yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.  
ü  Pembagian hadits Mutawatir
      • Mutawatir lafzi
      • Muyawatir ma’nawi
      • Mutawatir Amali

ü Menurut bahasa kata Al Ahad jamak dari Ahad, yang berarti al wahid atau satu. Sedangkan menurut Istilah ahli hadits (Abdul Wahab Khalaf), hadits ahad antara lain adalah Suatu hadits (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberitahuan hadits mutawatir; baik pemberita itu seorang, dua orang, tiga orang, empat orang, limaorang dan seterusnya.
ü Pembagian Hadits Ahad
      • Hadits masyhur
      • Hadits ghairu masyhur



DAFTAR PUSTAKA
Teungku Muhammad Hasbi Ali ash-shiedqie, Sejarah & pengantar ilmu hadits( edisi ketiga,  semarang; P.t. Pustaka Rizki Putra, 2009
Dr. H. Munzier suparta, Ilmu Hadits (edisi ke enam), Jakarta; P.T. Raja Grafindo Persada, Mei 2010.
Drs Fatchurrahman, Ikhtisar Mushthalahu’l Hadits, Bandung; P.t. Alma’arif


[1] Dr. Munzir suparta, Ilmu Hadits (cetakan 6), (Jakarta: Pt. Grafindo, 2006),hlm 101
[2] Nur Al-Din ,itr , manhaj Al-Naqdi fi ulum hadits, (beirut: Dar-Al Fikr,1981), hlm 70.
[3] Munzier suparta, op. Cit., hal 113
[4] Ashl Al-sanad ialah pangkal pulang dan kembalinya sanad.

Rabu, 08 Juni 2011

peranan nilai sosial, nilai mendarah daging, dan kebudayaan

A.    Pengertian Nilai Sosial
Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Sebagai contoh, orang menanggap menolong memiliki nilai baik, sedangkan mencuri bernilai buruk. Woods mendefinisikan nilai sosial sebagai petunjuk umum yang telah berlangsung lama, yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Tak heran apabila antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata nilai. Contoh, masyarakat yang tinggal di perkotaan lebih menyukai persaingan karena dalam persaingan akan muncul pembaharuan-pembaharuan. Sementara pada masyarakat tradisional lebih cenderung menghindari persaingan karena dalam persaingan akan mengganggu keharmonisan dan tradisi yang turun-temurun.
Drs. Suparto mengemukakan bahwa nilai-nilai sosial memiliki fungsi umum dalam masyarakat. Di antaranya nilai-nilai dapat menyumbangkan seperangkat alat untuk mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan bertingkah laku. Selain itu, nilai sosial juga berfungsi sebagai penentu terakhir bagi manusia dalam memenuhi peranan-peranan sosial. Nilai sosial dapat memotivasi seseorang untuk mewujudkan harapan sesuai dengan peranannya. Contohnya ketika menghadapi konflik, biasanya keputusan akan diambil berdasarkan pertimbangan nilai sosial yang lebih tinggi. Nilai sosial juga berfungsi sebagai alat solidaritas di kalangan anggota kelompok masyarakat. Dengan nilai tertentu anggota kelompok akan merasa sebagai satu kesatuan. Nilai sosial juga berfungsi sebagai alat pengawas (kontrol) perilaku manusia dengan daya tekan dan daya mengikat tertentu agar orang berprilaku sesuai dengan nilai yang dianutnya.
B.     Ciri-Ciri
Ciri nilai sosial di antaranya sebagai berikut.
  • Merupakan konstruksi masyarakat sebagai hasil interaksi antarwarga masyarakat.
  • Disebarkan diantara warga masyarakat (bukan bawaan lahir).
  • Terbentuk melalui sosialisasi (proses belajar)
  • Merupakan bagian dari usaha pemenuhan kebutuhan dan kepuasan sosial manusia.
  • Bervariasi antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain.
  • Dapat mempengaruhi pengembangan diri sosial
  • Memiliki pengaruh yang berbeda antarwarga masyarakat.
  • Cenderung berkaitan satu sama lain.
  •  
C.    Klasifikasi
Berdasarkan ciri-cirinya, nilai sosial dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu nilai dominan dan nilai mendarah daging (internalized value).
1)      Nilai dominan
Nilai dominan adalah nilai yang dianggap lebih penting daripada nilai lainnya. Ukuran dominan tidaknya suatu nilai didasarkan pada hal-hal berikut.
  • Banyak orang yang menganut nilai tersebut. Contoh, sebagian besar anggota masyarakat menghendaki perubahan ke arah yang lebih baik di segala bidang, seperti politik, ekonomi, hukum, dan sosial.
  • Berapa lama nilai tersebut telah dianut oleh anggota masyarakat.
  • Tinggi rendahnya usaha orang untuk dapat melaksanakan nilai tersebut. Contoh, orang Indonesia pada umumnya berusaha pulang kampung (mudik) di hari-hari besar keagamaan, seperti Lebaran atau Natal.
  • Prestise atau kebanggaan bagi orang yang melaksanakan nilai tersebut. Contoh, memiliki mobil dengan merek terkenal dapat memberikan kebanggaan atau prestise tersendiri.

2)      Nilai mendarah daging (internalized value)
Nilai mendarah daging adalah nilai yang telah menjadi kepribadian dan kebiasaan sehingga ketika seseorang melakukannya kadang tidak melalui proses berpikir atau pertimbangan lagi (bawah sadar). Biasanya nilai ini telah tersosialisasi sejak seseorang masih kecil. Umumnya bila nilai ini tidak dilakukan, ia akan merasa malu, bahkan merasa sangat bersalah. Contoh, seorang kepala keluarga yang belum mampu memberi nafkah kepada keluarganya akan merasa sebagai kepala keluarga yang tidak bertanggung jawab. Demikian pula, guu yang melihat siswanya gagal dalam ujian akan merasa gagal dalam mendidik anak tersebut.

Pengertian Nilai Sosial Menurut para Ahli
Kimball Young
Mengemukakan nilai sosial adalah asumsi yang abstrak dan sering tidak disadari tentang apa yang dianggap penting dalam masyarakat.
A.W.Green
Nilai sosial adalah kesadaran yang secara relatif berlangsung disertai emosi terhadap objek.
Woods
Mengemukakan bahwa nilai sosial merupakan petunjuk umum yang telah berlangsung lama serta mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari
M.Z.Lawang
Menyatakan nilai adalah gambaran mengenai apa yang diinginkan,yang pantas,berharga,dan dapat mempengaruhi perilaku sosial dari orang yang bernilai tersebut.
Hendropuspito
Menyatakan nilai sosial adalah segala sesuatu yang dihargai masyarakat karena mempunyai daya guna fungsional bagi perkembangan kehidupan manusia.


D.    Definisi Budaya

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.

Pengertian Kebudayaan

Pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.










PERANAN NILAI  SOSIAL DAN BUDAYA  DALAM  BERNEGARA
Perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri.
Peranan nilai sosial dan budaya dapat di ungkapkan dengan bahasa. kita dapat menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.
Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ada beberapa cara yang dilakukan masyarakat ketika berhadapan dengan imigran dan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan asli. Cara yang dipilih masyarakat tergantung pada seberapa besar perbedaan kebudayaan induk dengan kebudayaan minoritas, seberapa banyak imigran yang datang, watak dari penduduk asli, keefektifan dan keintensifan komunikasi antar budaya, dan tipe pemerintahan yang berkuasa.Pemerintah harus mengusahakan terjadinya asimilasi kebudayaan sehingga masyarakat yang berbeda menjadi satu dan saling bekerja sama Dengan demikian peranan nilai sosial dan budaya dapat dikembangkan dalam suatu wilayah atau dalam bernegara .

Kerajaan Safawi di persia

Bagian I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam setiap dekade kehidupan, waktu terus berputar bagai roda, bagian yang bawah kadang keatas dan sebaliknya. Bagitu juga dengan perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan Islam.
Sepeninggalan Rasulullah Islam sudah tersebar di seantero jazirah Arab, Islam terus melakukan expansi di bawah kendali pada khalifah Ar-Rasyidin dan selanjutnya dilanjutkan oleh rezim Umayyah kemudian rezim Abbasyiah, di akhir pemerintahan Abbasiyah Islam semakin merosot selama beberapa abad.
Ditengah-tengah keterpurukan isLam muncullah tiga kerajaan besar, kerajaan Turki Usmani ( Ottoman ) di Turki, kerajaan Safawiyah di Persia dan kerajaan Mughal di India. Dalam makalah ini penulis akan mengangkat pembahasan tentang Kerajaan Safawiyah, dari awal berdirinya hingga akhir pemerintahannya.

B. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah awal berdirinya kerajaan Safawi dan perkembangannya ?
2.      Bagaimana kemajuan kejaraan Safawi ?
3.      Dan bagaimana kemunduran kerajaan Safawi ?

C. Tujuan Penulisan
1.      Untuk megetahui sejarah berdirinya Kerajaan Safawiyah.
2.      Mempelajari kemajuan yang dialami Kerajaan Safawi.
3.      Dan mempelajari kemunduran  kerajaan tersebut.


Bagian II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Muncul dan Berkembang Kerajaan Safawi
      1. Proses Pembentukan Kerajaan Safawi
          Kerajaan Safawi berdiri secara resmi di Persia pada 1501 M. Namun kerajaan ini tidak berdiri sendiri. Peristiwa tersebut berkaitan dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya dalam rentang waktu yang cukup panjang. Yakni kurang lebih 2 abad, waktu yang hampir sama dengan usia kerajaan Safawi. Cikal bakal Safawi tumbuh lambat laun, tapi pasti menuju zaman yang penuh dengan muatan historis yang sangat penting.
Secara etimologis nama kerajaan “Safawi” berasal dari kata Safi yang diambil nama seorang sufi bernama Safi Al-din Ishaq Al-Ardabili lahir pada tahun 1252 M pendiri tarekat Safawiyah dan bukan dari kata sufi. 6 tahun sebelum Hulagu Khan menghancurkan Baghdad, ia lahir di kota Ardabil sebuah kota paling Timur dari Azerbaijan. Sejak kecil ia sudah menggemari amalan keagamaan dan kehidupan sufistik.
“Pada usia 25 tahun ia belajar pada seorang sufi bernama Zahid Tajuddin, di Jailan dekat laut Kaspia. Kurang lebih selama 25 tahun, kemudian beliau diangkat menjadi menantu, setelah gurunya wafat ia mengantikan kedudukan gurunya sebagai guru tarekat, tarekat ini kemudian dikenal Tarekat Safawi yang berpusat di Ardabil”.[1]
Adapun mengenai asal usul keturunan Safi Al-din masih menjadi problematika kontroversial. “Menurut keluarga Safawi Safi Al-din Ishaq Al-Ardabili adalah keturunan dari Musa Al-Kazim imam ketujuh dari Syiah Imam yang dua belas. Oleh karena itu, ia termasuk keturunan Rasulullah SAW dari garis puterinya Fatimah. Namun menurut pendapat yang lain Safi Al-din adalah penduduk asli Iran dari Kurdistan yang berbahasa Turki yang di pakai di wilayah Azerbaijan, ia dianggap beraliran syiah tetapi juga sunni yang bermazhab Syafi’i sedangkan penggantinya yang kedua Khawaja Ali merupakan penganut syiah moderat”.[2]
Sebelum menjadi kerajaan, Safawi mengalami 2 fase pertumbuhan pertama fase dimana safawi bergerak dibidang keagamaan (cultural) dan kedua sebagai gerakan politik (struktural).
Pada tahun 1301 - 1447 M gerakan Safawi masih murni gerakan keagamaan dengan tarekat Safawiyah sebagai sarana, tarekat ini mempunyai pengikut yang sangat besar hal ini terjadi karena pada saat itu, umat umumnya hidup dalam suasana apatis dan pasrah melihat anarki politik yang berkecamuk. Hanya dengan kehidupan keagamaan lewat sufisme, mereka mendapat persaudaraan tarekat, dan mereka merasa aman dalam menjalin persaudaraan antar muslim.
Pada fase pertama ini gerakan tarekat Safawi tidak mencampuri masalah politik sehingga dia berjalan dengan aman dan lancar baik pada masa Ilkhan maupun pada masa penjarahan Timur Lenk.  Dan dalam fase ini gerakan Safawi mempunyai dua corak, pertama bernuansa Sunni yaitu pada masa pimpinan Safiuddin Ishaq ( 1301 - 1344) dan anaknya Sadruddin Musa (1344 - 1399), kedua berubah menjadi Syiah pada masa Khawaja Ali (1399 - 1427). Perubahan ini terjadi karena ada kemungkinan bertambahnya pengikut Safawi di kalangan syiah sehingga kepemimpinannya berusaha menyusuaian diri dengan aliran manyoritas pendukungnya.

      2. Perubahan dari Sistem Sosial-Organik ke Sistem Religio-Politik
          Pada masa 1447 - 1501 M, gerakan Safawi memasuki fase kedua yaitu sebagai gerakan politik. Kecenderungan memasuki dunia politik terwujud pada masa kepemimpinan Juned (1447 - 1501 M). Juned  mengubahnya menjadi gerakan politik revolusioner dengan tarekat Safawi sebagai sarananya.
Gerakan ini mulai terlibat dalam konflik politik antara dua kerajaan Turki yang berkuasa saat itu. Kara Koyunlu ( Black Sheep) beraliran syiah berkuasa dibagian Timur dan Ak Koyunlu (White sheep) beraliran Sunni berkuasa dibagian Barat di bawah imperum Usmani. Tarekat Safawi memperluas tarekatnya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasan ini menimbulkan konflik dengan Jahansyah penguasa Kara Koyunlu pada tahun 1447 M Juned kalah dan diasingkan dari Ardabil.
Juned kemudian meminta suaka politik pada raja Ak Koyunlu sekaligus mengadakan aliansi politik untuk bersama-bersama menghadapi Kara Koyonlu. Hal ini dilakukannya untuk mendapatkan wilayah sebagai baris gerakan Safawi.
Perubahan Safawi dari gerakan keagamaan menjadi gerakan politik cukup menarik, karena sebagai tarekat sufi yang lebih bersifat Ukhrawi kemudian menjadi duniawi (profan), faktor utama yang menyebabkan adanya perubahan tersebut ada pada ajaran tarekat itu sendiri yaitu hubungan antara pemimpin tarekat dengan pengikut-pengikutnya. Pemimpin tarekat yang disebut Mursyid mempunyai wakil di daerah-daerah tertentu tempat pengikut-pengikutnya berada, anggota tarekat harus tunduk secara mutlak kepada Mursyid dan wakilnya itu. Oleh karena itu, ikatan antara pemimpin dengan pengikutnya sangat kuat sehingga semacam ada hierarki spiritual. Dalam tarekat Safawi pemimpin yang meninggal dunia selalu digantikan oleh anaknya seperti dalam kepemimpinan dinasti, ini menjadi modal dasar yang mendorong perubahan tersebut jika pemimpin seperti Juned memiliki ambisi politik para pengikutnya dapat disulap menjadi tentara yang fanatik dan mendukung ambisi politik pemimpinnya.[3]
Selama dalam suaka Ak Koyunlu baik Juned maupun Haidar bin Juned telah melakukan kegiatan politik seperti Juned menikahi saudara Uzun Hasan (Raja Ak Kayunlu). “Aliansi politik ini diperkuat lagi dengan pernikahan Haidar bin Juned dengan Putri Uzun Hasan sendiri, dari istrinya sendiri Despin Katrina, puteri Kaloo Juhannis, seorang raja Kristen dipantai Timur Laut Hitam”.[4] Tapi menurut buku Munawiyah, dkk, Sejarah Peradaban Islam, dikatakan bahwa Haidar menikah dengan cucu Uzun Hasan bukan dengan putri Uzun Hasan sendiri, dari perkawinan Haidar lahir Ali, Ismail dan Ibrahim, Ismail-lah yang kemudian hari menjadi pendiri Kerajaan Safawi dan menetapkan syiah sebagai mazhab negara.
Pada tahun 1459 M Juned berusaha menyerang Ardabil tetapi gagal kemudian pada tahun 1460 M, ia mencoba merebut Sircassia dan juga daerah Utara yang didiami orang Kristen Georgia tetapi pasukan yang di pimpinnya di hadang oleh tentara Sirwan dan ia terbunuh dalam pertumpuran tersebut.
Haidar pun mengikuti jejak ayahnya ia membantu Ak Koyunlu menyerang Kara Koyunlu setelah Ak Koyunlu menumbangkan Kara koyunlu pada tahun 1467 M, aliansi Safawi dengan Ak Koyunlu menjadi guncang. Ak Koyunlu menganggap Safawi sebagai lawan politik yang dapat membahayakan Ak Koyunlu.
Ketika Haidar mencoba merebut Sisilia ( Sirkasia ) daerah-daerah Kristen di Utara dan Sirwan, Ak Koyunlu mengirimkan bantuan militer kepada Sirwan. Pasukan Haidar kalah ia pun terbunuh. “Kecenderungan Haidar  menyerang daerah-daerah  Kristen di Utara di mungkinkan untuk memperoleh daerah pijakan yang akan memperkuat basis politik yang independen karena selama ini Safawi hanya merupakan dinasti politik spiritual tanpa tanah air”. [5]
“Meskipun Haidar belum mewujudkan cita-cita gerakan Safawi namun ia sempat memberikan atribut kepada pendukung-pendukungnya berupa serban merah yang berumbai 12, sehingga mereka terkenal dengan sebutan Qizilbas (kepala merah). Rumbai 12 yang menjadi lambang Syiah isna ‘asyar (12 imam) mempunyai pengaruh yang besar dalam menanamkan fanatisme dan militansi para pengikut syiah”.[6]

         3. Berdirinya Kerajaan Safawi Secara Resmi
             Setelah kematian Haidar, Ali menggantikan ayahnya, ia didesak bala tentara untuk menuntut balas atas kematian ayahnya, tapi Ali di tangkap oleh Ya’kub (Raja Ak Koyunlu), lalu dibuang ke Fars bersama ibu dan dua orang saudaranya Ibrahim dan Ismail selama 4 tahun setengah (1589 – 1593 M).
              Situasi itu mendorong pengikut-pengikut Safawi di Persia, Armenia, Anatolia dan Syiria mengonsolidasikan kekuatan sendiri, hingga Ali di lepaskan. Tetapi ketika penguasa Ak koyunlu di pegang oleh Rustam, Ali di tangkap dan dibuang ke Ray sampai akhirnya dibunuh. Sebelum meninggal Ali sempat mengangkat adik bungsunya Ismail bin Haidar yang waktu itu berusia tujuh tahun untuk menjadi pemimpin Safawi.
              Dalam waktu lima tahun, Ismail berhasil menghimpun kekuatan yang cukup besar dan bermarkas di Gilan. Pada tahun 1501 M, pecah pertempuran antara Ak koyunlu dengan Safawi di Sahrur dekat Nakhiwan dengan kemenangan di pihak Safawi. Ismail memasuki kota Tabris dengan penuh kebanggaan dan memproklamasikan berdirinya Kerjaan Safawi. Ia sendiri menjadi raja pertamanya dan menjadikan Syi’ah sebagai ideologi negara.

         4. Perkembangan Kerajaan Safawi
             Ismail memerintah selama 23 tahun (1501 – 1524). Selama sepuluh tahun pertama pemerintahannya, Ismail berhasil memperluas wilayah pemerintahan sampai mencakup seluruh wilayah Persia dan sebelah Timur Fertile Creshen. Pada tahun 1502 M, Ismail telah menduduki Sirwan, Azerbaijan dan Irak. Pada 1503 M, ia menghancurkan sisa-sisa tentara Ak Koyunlu di Hamadzan. Pada tahun 1504 Ismail menduduki Provinsi Kaspia dari Mazandaran dan Curgan. Diyar Bakr  ditaklukkan pada tahun 1505 M, dan Baghdad jatuh ketangannya pada tahun 1508 M. Pada tahun 1510 M ia menguasai Khurasan  setelah terlibat dalam pertempuran dengan Syaibani Khan, raja Uzbek. Kemenangan beruntun itu merupakan sukses mewujudkan kerajaan Safawi yang membentang dari  Heart (Harat) di Timur sampai Diyar Bark di Barat.
              Bahkan tidak sampai di situ saja, ambisi politik mendorongnya untuk terus mengembangkan wilayah kekuasaan ke daerah-daerah lainnya seperti Turki Usmani. Ismail Berusaha merebut dan mengadakan expansi ke wilayah kerajaan Usmani (1514 M) tapi dalam peperangan ini Ismail mengalami kekalahan, Turki di bawah pimpinan Sultan Salim dapat menduduki Tabris. Kerajaan Safawi terselamatkan dengan pulangnya Sultan Usmani ke Turki, karena terjadi perpecahan di kalangan militer Turki di negerinya “ kekalahan ini membuat Ismail I berubah, ia lebih sering menyendiri, menempuh kehidupan hura-hura dan berburu. Keadaan ini berdampak negatif pada Kerajaan Safawi, hingga akhirnya terjadi persaingan dalam merebut pengaruh untuk dapat memimpin, antara pimpinan suku-suku Turki, pejabat, keturunan Persia dan Qizilbash”.[7] “Penyebab utama terjadi peperangan antara Safawi dan Usmani menurut Syalabi adalah pemaksaan faham Syi’ah terhadap mayoritas faham Sunni, dan lebih kejam Ismail I telah membunuh ulama Sunni di daerah Irak. Sehingga turki merasa terpanggil dengan kebiadaban Syi’ah”.[8]
              Sepeninggal Ismail I, permusuhan dengan Kerajaan Usmani terus berlanjut, terjadi beberapa perang antara keduanya yaitu pada masa Tahmasp 1 (1524-1576), Isamail II (1576-1577) dan Muhammad Khudabanda (1577-1587) pada masa tiga Raja Safawi mengalami kelemahan, karena sering berperang dengan kerajaan Usmani yang lebih kuat, dan juga sering terjadi pertentangan antara kelompok dari dalam kerajaan Safawi sendiri.
              Kerajaan Safawi bertahan lebih 2 abad dengan pemimpin sebagai berikut:
1)      Ismail I (1501-1524 M)
2)      Tahmasap I (1524-1576 M)
3)      Ismail II (1576-1577 M)
4)      Muhammad Khudabanda ( 1577-1587 M)
5)      Abbas I ( 1587-1628 M)
6)      Safi Mirza (1628-1642 M)
7)      Abbas II (1642-1667 M)
8)      Sulaiman (1667-1694 M)
9)      Husein I (1694-1722 M)
10)  Tahmasap II (1722-1732 M)
11)  Abbas III (1732-1736 M)


B. Wujud dan Corak Kemajuan Kerajaan Safawi
      1. Kemajuan di Bidang Politik
          Masa kemajuan Kerajaan Safawi tidak langsung terjadi pada masa Ismail, Raja pertama (1501-1524 M) kejayaan Safawi yang gemilang baru di capai pada masa Syah Abbas yang Agung (1587-1628 M) Raja yang kelima. Walaupun begitu, peran Ismail sebagai pendiri Safawi sangat besar sebagai peletak pondasi bagi kemajuan Safawi di kemudian hari. Dia telah memberikan corak yang khas bagi Safawi dengan menetapkan Syiah sebagai mazhab negara. Syah Ismail juga telah memberikan dua karya besar bagi negaranya, yaitu perluasan wilayah dan penyusunan struktur pemerintahan yang unik pada masanya.
            Seperti di katakan sebelumnya Safawi jaya pada masa Abbas I (1587-1628).   Syah Abbas yang Agung naik tahta pada usia 17 tahun. Ketika Abbas memerintah kerajaan Safawi berada dalam keadaan tidak stabil. Syah Abbas menempuh beberapa langkah untuk memperbaiki situasi tersebut, antara lain:
a)      Menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash atas kerajaan Safawi dengan membentuk pasukan baru yang terdiri dari bekas tawanan perang bekas orang-orang Kristen di Georgia dan Circhasia yang sudah mulai di bawa ke Persia sejak Syah Tahmasap I (1524-1576) di beri nama “ Ghulam”.
b)      “Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Usmani dengan cara berjanji menyerahkan wilayah Azerbaizan, Georgia dan sebagian wilayah Luristan, dan tidak akan menghina tiga khalifah pertama dalam Islam (Abu Bakar, Umar, Usman) dalam khutbah jum’atnya”[9].
      Secara politik Syah Abbas I sangat maju, karena ia mampu mewujudkan integritas wilayah negara yang luas yang di kawal oleh suatu angkatan bersenjata yang tangguh. Angkatan bersenjata yang di sebut “ghulam”, dalam proses pembentukannya di katakan bahwa Syah Abbas I mendapat dukungan dari dua orang Inggris yaitu Sir Antoni Sherly dan saudaranya Sir Rodet Sherly. Mereka mengajari tentara Safawi untuk membuat meriam sebagai pelengkapan negara yang modern. Kedatangan kedua orang Inggris itu oleh sebagian sejarawan di pandang sebagai upaya strategi Inggris untuk melemahkan pengaruh Turki Usmani di Eropa yang menjadi musuh besar Inggris saat itu. Bagaimanapun dengan bantuan dua orang Inggris itu Syah Abbas memiliki tentara dapat diandalkan. Hal ini terbukti sekitar 3.000 Ghulam di jadikan “Cakrabirawa” oleh Syah sendiri.
      Kemajuan lain di bidang politik yang di tunjukkan Syah Abbas, yaitu keberhasilannya merebut kembali daerah-daerah yang pernah di rebut Turki Usmani.

      2. Kemajuan di bidang Ekonomi
          Dengan angkatan perang “ghulam” Syah Abbas mampu melakukan expansi pada tahun 1598 M Abbas I menguasai Heart (Harat), Marw dan Balkh. Kemudian pada tahun 1622 M berhasil menguasai Kepulauan Hurmuz, dan pelabuhan Gumrun.
            Perkembangan pesat di sektor perdagangan terjadi setelah Abbas I menguasai kepulauan Hurmuz dan mengubah Pelabuhan Gumrun menjadi Bandar Abbas. Hal ini di karenakan Bandar ini merupakan salah satu jalur dagang antara Barat dan Timur. Dengan ini, Safawi telah memegang kunci perdagangan Internasional, khususnya di teluk Persia yang ramai, di Utara Safawi menjalin Hubungan perdagangan dengan Rusia. Perdagangan di darat dari sentral Asia melalui kota-kota penting di Safawi seperti Harat, Merf, Nighafur, Tabriz, dan Baghdad. Di bidang pertanian, Safawiyah mengalami kemajuan karena daerah Bulan Sabit yang subur (Fertile Creshen).

      3. Kemajuan di Bidang Seni Arsitektur
          Ibu kota Safawi adalah kota yang sangat indah. Pembangunan besar-besaran dilakukan Syah Abbas terhadap Ibu kotanya Isfahan.pada saat Syah Abbas I meninggal, terdapat 162 buah Masjid, 48 buah Perguruan tinggi, 1082 Losmen yang luas untuk penginapan tamu syah dan 237 unit pemandian umum. “Bangunan yang paling terkenal adalah Mesjid Luthfullah yang di bangun pada 1603 M dan selesai 1618 M, merupakan sebuah Oratorium yang di sediakan sebagai tempat peribadatan pribadi Syah. Pada sisi bagian selatan terdapat mesjid kerajaan yang mulai di bangun pada 1611 M dan selesai pada 1629 M pada sisi bagian Barat berdiri Istina Ali Qapu yang merupakan gedung pusat pemerintahan. Pada sisi bagian Utara berdiri bangunan monumental yang menjadi simbol bagi gerbang menuju bazar kerajaan dan sejumlah pertokoan, tempat pemandian, Caravansaries, mesjid dan perguruan”[10]. Syah Abbas juga membangun Istana yang megah yang di sebut Chihil Sutun atau Istana empat puluh tiang,sebuah jembatan besar di atas sungai Zende Rud dan Taman Bunga Empat Penjuru.

      4. kemajuan di bidang Filsafat dan Sains
          Pada Kerajaan Safawi Filsafat dan Sains bangkit kembali di dunia islam, dan khususnya di kalangan orang Persia yang berminat tinggi pada perkembangan kebudayaan. Perkembangan ini erat kaitannya dengan Aliran Syiah yang di tetapkan Safawi sebagai ideologi resmi Negara.
            Dalam Syiah terdapat dua golongan, yakni Akbari dan Ushuli. Mereka berbeda dalam memahami ajaran agama. Akbari cenderung berpegang teguh kepada hasil ijtihat para mujtahit syiah yang sudah mapan. Sedangkan ushu;li mengambil langsung vdari Al-qur’an dan Hadits, tanpa terikat kepada para mujtahid. Golongan Ushuli inilah yang paling berperan pada masa Syafawi. Dibidang teologi mereka mendapat dukungannya dalam mazhab Muktazilah pertemuan kedua elemen  kelompok inilah yang berperan pada terwujudnya perkembangan baru dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan di dunia Islam yang kemudian melahirkan beberapa filosuf dan Ilmuan.
            Ada dua aliran filsafat yang berkembang pada masa Safawi yaitu “aliran filsafat perifatetik” seperti yang bdikemukakan oleh Aristoteles dan Al-farabi, dan “aliran filsafat israqi” yang di bawa oleh  Suhrawardi pada abad XII.
            Beberapa tokoh filsafat yang muncul pada masa Safawi antara lain Mir Damad alias Muhammad Baqir Damad 1631 M yang dianggap sebagai guru ketiga setelah Aristoteles dan Al-farabi, dan Mulla Shadra atau Shadr Al-din Al-Syirazi. “Menurut amir Ali ia adalah seorang dialektikus yang paling cakap di zamannya”,[11] dan Baha Al-Syerazi seorang generalis Ilmu Pengetahuan.
            “Dalam pengembangan ilmu pengetahuan Syah Abbas sendiri ikut aktif dalam penelitian ilmu-ilmu tersebut, Kota Qumm pada saat itu menjadi pusat pengenbangan kebudayaan dan penyelidikan mazhab Syiah terbesar”[12].

C. Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Safawi
            Sepeninggal Abbas I, kerajaan Safawi berturut-turut dipimpin oleh enam raja, yaitu Safi Mirja (1628 - 1642 M), Abbas II (1642 – 1667 M), Sulaiman (1667 – 1694 M), Husein (1694 – 1722 M), Tahmasap II (1722 – 1732 M) dan Abbas III (1733 – 1736 M). Pada masa raja-raja tersebut kondisi kerajaan Safawi tidak menunjukkkan grafik naik dan berkembang, tapi justru memperlihatkan yang akhirnya membawa kepada kehancuran. Raja Safi Mirza (cucu Abbas I) juga menjadi penyebab kemunduran Safawi karena dia seorang raja yang lemah dan sangat kejam terhadap pembesar-pembesar kerajaan. Di lain sisi dia juga seorang pencemburu yang akhirnya mengakibatkan mundurnya kemajuan-kemajuan  yang diperoleh pemerintahan sebelumnya (Abbas I).
      Kota Qandahar lepas dari kekuasaan Safawi, diduduki oleh kerajaan Mughal yang ketika itu diperintah oleh Syah Jehan, sementara Baghdad direbut oleh kerajaan Turki Usmani. Syah Abbas II adalah raja yang suka minum-minuman keras hingga ia jatuh sakit dan meninggal. Sebagaimana Abbas II, Sulaiman juga seorang pemabuk. Ia bertindak kejam terhadap para pembesar yang dicurigainya. Akibatnya rakyat bersikap masa bodoh terhadap pemerintahan. Ia diganti oleh Syah Husein yang alim. Ia memberi kekuasaan yang besar kepada para ulama Syi’ah yang sering memaksakan pendapat penganut aliran Sunni. Sikap ini membangkitkan kemarahan golongan sunni Afghanistan,. Pemberontakan bangsa Afgan tersebut terjadi pertama kali pada tahun 1709 M di bawah pimpinan Mir Vais yang berhasil merebut wilayah Qandahar. Pemberontakan lainnya terjadi di Heart, suku Ardabil Afghanistan berhasil merebut masyad. Mir Vais di gantikan oleh Mir Mahmud dan ia dapat mempersatukan pasukannya dengan pasukan Ardabil, sehingga ia mampu merebut Afghan dari kekuasaan Safawi. Karena desakan dan ancaman dari Mir Mahmud, Syah Husein akhirnya mengakui kekuasaan Mir Mahmud dan mengangkatnya menjadi gubernur di Qandahar dengan gelar Husein Quli Khan (budak Husein).dengan pengakuan ini, Mir Mahmud makin leluasa bergerak sehingga tahun 1721 M, ia merebut Qirman dan tak lama kemudian ia menyerang Isfahan dan memaksa Syah Husein menyerah tanpa syarat. Pada tahun 1722 M Syah Husein menyerah dan Mir Mahmud memasuki kota Isfahan dengan penuh kemenangan.
            Salah seorang putra Husein yang bernama Tahmasap II, mendapat dukungan penuh dari suku Qazar dari Rusia, memproklamasikan dirinya sebagai raja yang sah atas Persia dengan pusat kekuasaan di kota Astarabat. Tahun 1726 M, Tahmasap II bekerjasama dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk memerangi dan mengusir bangsa Afghan yang menduduki Isfahan. Asyraf, pengganti Mir Mahmud, yang berkuasa di Isfahan digempur dan dikalahkan oleh pasukan Nadir Khan tahun 1729 M. Asyraf sendiri terbunuh dalam peperangan itu dengan demikian Kerajaan Safawi kembali berkuasa. Namun pada tahun 1732 M, Tahmasap II di pecat oleh Nadir Khan dan di gantikan oleh Abbas III (anak Tahmasap II) yang ketika itu masih sangat kecil. Empat tahun setelah itu 1736 M, Nadir Khan mengangkat dirinya sebagai raja menggantikan Abbas III, dengan demikian berakhirlah kekuasaan Kerajan Safawi di Persia.
            Adapun sebab-sebab kemunduran dan kehancuran Kerajaan Safawi yaitu:
1.      Adanya konflik yang berkepanjangan dengan Kerajaan Usmani berdirinya Kerajaan Safawi yang bermazhab Syiah merupakan sebuah Ancaman Bagi Kerajaan Usmani sehingga tidak pernah ada perdamaian antara kedua kerajaan besar ini.
2.      Terjadinya dekandensi moral yang melanda sebagian pemimpin kerajaan Safawi, yang juga ikut mempercepat proses kehancuran kerajaan ini. Kerajaan Sulaiman pecandu narkotik dan menyenangi kehidupan malam selama tujuh tahun tidak pernah sekalipun menempatkan diri menangani pemerintahan, begitu pula dengan Syah Husein.
3.      Pasukan Ghulam yang di bentuk Abbas I ternyata tidak memiliki semangat perjuangan yang tinggi seperti QizilBash. Hal ini di karenakan mereka tidak memiliki ketahanan mental kerena tidak di persiapkan secara terlatih dan tidak memiliki bekal rohani. Kemorosotan aspek kemiliteran ini sangat besar pengaruhnya terhadap lenyapnya ketahanan dan pertahanan kerajaan Safawi.
4.      Sering terjadinya konflik internal dalam bentuk perebutan kekuasaan di kalangan keluarga Islam.
5.      “ulama mulai meragukan otoritas Syah yang berlangsung secara turun temurun, sebagai penanggung jawab pertama atas ajaran Islam syiah”.[13]































Bagian III
PENUTUP
Kesimpulan

1)      Kerajaan Safari berasal dari sebuah Tarekat Sufi. Nama Safawi di ambil dari nama pendiri tarekat tersebut Safi Al-din Ishak Al-Ardabily.
2)      Kemajuan kerajaan Safawi terjadi pada masa pemerintahan Syah Abbas I, ia berhasil memperbaiki system politik dan perekonomian kerajaan sehingga banyak gedung-gedung yang di bangun pada masa pemerintahan. Gedung yang di bangun oleh Abbas I antara lain 162 unit Mesjid, 48 unit perguruan tinggi, 1082 unit Losmen untuk tamu syah, 237 unit pemandian umum. Bangunan yang palin terkenal adalah Mesjid Lutfullah, Istana Chihil Sutun, jemabatan besar di atas sungai Zende Rud dan Taman Bunga Empat Penjuru.
3)      Kemunduran Safawi terjadi karena setelah Abbas I tidak ada lagi pemimpin Safawi yang secakap Abbas I dalam hal kepemimpinan. Dan terjadi konflik internal di dalam Kerajaan Safawi sendiri, di tambah lagi konflik dengan Turki Usmani.
















DAFTAR PUSTAKA

Munawiyah, dkk. Sejarah Peradaban Islam, Banda Aceh : PSW IAIN Ar-Raniry
Banda Aceh, 2009.

Ira. M. Lapidus. Sejarah Sosial Ummat Islam Bagian 1 dan 2, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2000.

Kafrawi Ridwan (Ed). Ensiklopedi Islam jil.4. Jakarta PT. Ichtiarfanhoev, 1998.

Cyril Glase; penerjemah Ghufron. A. Mas’adi, Ensiklopedi Islam (ringkas Edisi 1).
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Ajid Tohir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Islam: Melacak Akar-Akar
Sejarah Sosial, Politik dan Budaya umat Islam Ed 1-2, Jakarta: Rajawali
Pers, 200.

Musyrifa Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan ILmu Pengetahuan
            Islam, Jakarta: Kencana, 2007.

Hamka, Sejarah Umat Islam (Ed.Baru), Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 2005.

Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2005.


[1] Kafrawi Ridwan, dkk. (Ed).  Ensiklope Islam, jld 4 ( jakarta: PT Ichtiar  Van  Hoeve. 1994 ). Hal. 176.
[2] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam : Melacah Akar-akar Sejarah Sosial Politik dan Budaya Umat Islam. Ed 1-2 ( Jakarta : Rajawali  Pers , 2009 ). Hal. 168.
[3] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, hal. 171.
[4] Ibid.
[5] Ibid. , h. 172.
[6] Munawiyah, dkk. Sejarah Peradaban Islam, (Banda  Aceh: PSW IAIN AR-Raniry, 2009), h.181.
[7] Badri Yatim , Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2008). h.142.
[8] Busman Edyar, dkk. (Ed.), Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: pustaka asatruss, 2009). h. 152.
[9] Ibid. , h. 154.
[10] Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam bagian 1 dan 2, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000). h. 453.
[11] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban…………. h. 177.
[12] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, ( Jakarta: Kencana, 2007). h. 253.
[13] Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat…………………………… h. 465.