Selamat Datang..

Selamat Datang..

Jumat, 12 Agustus 2011

Sejarah Aceh.. Para Ulama Tiro


PARA ULAMA TIRO


          Tgk. Chik Di Tiro Wazir Sulthan

Teuku Chik Muhammad Saman Di Tiro, yang sejak pecah perang dengan Belanda pada tahun 1873, telah terjun aktif di medan tempur di Aceh Besar dan juga di Pidie pada saat Belanda menyerang Pidie dan menduduki benteng Kuta Asan di Pidie, Tgk. Chik Di Tiro Muhammad Saman memegang peranan penting. Kemudian pada tahun 1883, Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman diangkat menjadi wazir Sulthan Kerajaan Aceh Darussalam, urusan Perang Sabil. Tgk. Chik Di Tiro lah satu-satunya Menteri yang dijabat oleh orang dari daerah takluknya (Pidie). Selama 400 tahun Kerajaan Aceh berdiri. Setelah Tgk. Di Tiro Muhammad Saman meninggal dunia pada tahun 1891. Pemimpin Perang Sabil dengan persetujuan Sulthan dipegang oleh “Tgk. Chik Di Tiro Muhammad Amin” dan setelah Tgk. Di Tiro Muhammad Amin, Syahid di Aneuk galong pada tahun 1896, pucuk pimpinan Perang Sabil di pegang oleh Tgk. Chik Di Tiro Mahidin yang terus bergrilya dipegunungan sekitar Tangse.

            Teungku Chi’ di Tiro Muhammad saman. Putra dan penggantinya adalah Teungku Mat Amin  (Muhammad Amin), Syahid Tahun 1896. Disamping mengarang hikayat perang sabil, Teungki Chi’ dI Tiro Muhammad Saman juga menyurati pihak Belanda pada Tahun 1885 dan menyatakan, “bahwa perdamaian baru tercapai jika Belanda mau memeluk agama islam”. Bulan Mei 1888, ia menulis surat lagi dengan nada yang serupa, karena Belanda tidak menjawab. Kemudian Gubernur Jendral Van Teijn menjawab dan menolak pandangan Teungku Chi’ di Tiro, karena “Kerajaan  Belanda tidak melakukan perang agama”. Menteri jajahan Belanda Keuchenius turut memberi reaksi dan menyurati Gubernur Jendral di Batavia agar Gubernur Aceh Van Teijn menjawabnya. Oleh Belanda dia di pandang sebagai faktor penting dalam kehidupan politik Aceh pada waktu itu. Ada instruksi sangat rahasia di Bulan Maret 1882, dari Gubernur Jendral untuk Gubernur Aceh, Agar memberikan hadiah kepada yang sanggup menyerahkan para pemimpin Aceh seperti: Teungku Chi’ di Tiro, dan lain-lain hidup atau mati dengan imbalan 1000 Dolar. Selain itu ada surat Gubernur Aceh kepada Teuku Umar, yang meminta “agar Teuku Umar berusaha membunuh Teungku Chi’ di Tiro”. Ia meninggal 25 Januari 1891, Di makamkan di Mureue (Aceh Besar).

            Seluruh anggota keluarga Ulama dari Tiro Memilih jadi suhada daripada menyerah kepada lawan, kecuali yang masih di bawah umur, masing-masing berusia 6 tahun dan 5 bulan. Berikut adalah silsilah Para Ulama Termasyhur dari Tiro.




SILSILAH PARA ULAMA TERMASYHUR DARI TIRO


 











































                                                                                                 



PERANAN TEUNGKU CHIK DI TIRO DALAM MEMPERTAHANKAN KERAJAAN ACEH DARUSSALAM


Menurut penelitian Van Langen, ada seorang ulama dari tanah jawa sekembalinya menunaikan ibadah haji di Mekkah telah singgah di Aceh, yaitu pedir, mengajar ilmu agama dan menetap di sana. Hasil pendidikan yang di kembangkannya mendapat pujian kemana-mana, dan Sulthan sendiripun menaruh simpati kepadanya. Diapun di beri kuasa pula oleh Sulthan untuk menjadi kadhi(wali hakim) di sekitar wilayah masjid raya Pidie. Setelah beberapa waktu berada di sana, diapun kawin dengan seorang wanita terkemuka di Klibeut dan tinggal di sana. Karena itu pula Ulama ini di biasakan di panggil oleh penduduk dengan sebutan Teungku Pakeh Klibut.

            Teungku Pakeh Klibut mempunyai seorang putra bernama Teungku Ubit setelah memiliki ilmu pengetahuan agama atas pendidikannya ditugaskan oleh sang ayah untuk mengajar/ menjadi guru mengaji di Tiro Cumbok. Tidak beberapa lama Teungku Ubet kawinlah di Tiro Cumbok dan menetap di sana.

            Teungku Sindri adalah ulama yang telah menunaikan hajinya ke Mekkah dan menurut Sumber di atas Teungku Sindri ini berasal dari Bugis. Teungku Aceh Klibut mempunyai seorang analk perempuan, saudara Teungku Ubit dan dikawinkanlah dengan Teungku Sindri ini untuk menggantikan jabatan kadhinya.

            Dengan perkawinan Teungku Sindri (Bugis) dengan putri Teungku Pakeh Klibut(jawa), lahirlah seorang laki-laki dan diberi nama Mat Saman. Pemuda Mat Saman ini selain belajar agama dari kedua orang tuanya, dia juga mengikuti pendidikan agama dari Tgk Chik Mat Amin dari dayah Tjut di Tiro, Keumangan. Karena ketekunannya belajar dia menjadi santri yang cerdas dan kemudian setelah memperoleh ilmu agama yang tinggi di kenal dengan Teungku Chik di Tiro, jadi nama Tiro adalah nama Tempat ia menuntut ilmu Agama. Untuk di ingat bahwa “Teungku Chik di Tiro adalah orang Aceh yang di lahirkan dengan membawa darah Bugis dan jawa”.

            Mungkin karena pengaruh ibunya atau karena gelora darah jawa di dalam tubuhnya yang telah menolong Teungku Mat Saman untuk memilih sang isteri dari keturunan jawa di Garot (Garot Pidie). Tetapi karena tidak memperoleh keturunan diapun kawin lagi dengan anak perempuan Teungku Ubit bin Teungku Pakeh Klibut keturunan Bugis di Tiro Cumbok. Dari perkawinannya ini Teungku Mat Saman memperoleh tiga orang anak: (1) Teungku Mat Amin. (2) Teungku Mahidin (Mayed). (3) Teungku Mat Amin Tiro.

            Menurut profesor Dr. Teungku Ibrahim Alfian : Ulama Besar Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman mempunyai 4 orang putera. Semua syahid, yaitu Tgk. Mat Amin 1896, Tgk. Di Teungkop 1899, Tgk. Di Bukit 21 mei 1910, Tgk. Mahidin (Mayed Pen) 5 September 1910.

            Teungku Mayed di Tiro, anak nomor dua dari Teungku Chik di Tiro ( Teungku Muhammad Saman di Tiro) mempunyai beberapa orang anak antara lain Tgk. Umar Tiro dan seorang Anak perempuan. Anak perempuan inilah yang menjadi ibu dari Hasan Muhammad Tiro. Jadi Hasan Muhammad Tiro adalah cucu dari seorang Teungku Chik di Tiro.

            Setelah mendapat laporan pada tanggal 27 Desember 1973 dalam pertempuran di Lamboe “ Aceh Besar, di mana rakyat Pidie ikut  mengirimkan pasukannya sejumlah 1500 orang lengkap dengan persenjataannya, Rakyat Garotpun ikut aktif mengirimkan bantuan untuk membangun kembali benteng Kuta Asan Pidie untuk menangkis pendaratan Belanda di Aceh Besar di bantu oleh pasukan dari pasukan dari Pidie. Maka Van Swietenpun memerintahkan suatu Eskader kapal perangnya yang terdiri dari “Zeeland” “Metalen Kruis”, “Citadel” dan “Anwerpen”, “Borneo” dan “Banda” bertolak ke Pidie untuk menghancurkan pertahanan rakyat di situ. Tanggal 28 Desember kapal-kapal itu berlayar di pidie dan Besoknya tanggal 29 Desember 1973 sudah berada di Kuala Pidie.

            Pada tanggal 30 Desember 1973, dengan serta merta berdetumlah suara letusan meriam dari kapal-kapal itu menuju ke rakyat banyak (pasar-pasar, kedai-kedai, rumah-rumah penduduk kampung) dan kemana saja secara membabi buta, tanpa mempunyai tujuan tertentu. Tanggal 31 Desember 1973 Belandapun mengadakan percobaan pendaratan. Sejumlah besar tentara laut (marinier) dikerahkan turun dalam perahu lengkap dengan senjata. Dengan diam-diam pasukan Pidie telah mengendap menanti kedatangan musuh tatkala mereka hendak mmenginjak kakinya ketanah, merekapun di sambut dengan serangan oleh pihak Aceh. Seharian terjadi pertempuran dan pada hari itu pula silih berganti perahu perang balik kekapal mengantar korban dan mendatangkan penggantinya. Akhirnya setelah petang hari Belanda mengambil kesimpulan tidak mungkin mematahkan perlawanan di situ. Mereka melihat bahwa dalam sementra itu menderu saja bala bantuan dari pedalaman. Akhirnya Belandapun berusaha menyelamatkan diri, mengangkut tentara lautnya yang masih bisa di selamatkan dan seterusnya bertolak menuju Ulehleh. Diperoleh petunjuk bahwa semenjak inipun Tgk. Chik di Tiro telah aktif mengambil bagian memimpin rakyat daripedalaman ikut bertempur melawan Belanda baik di Pidie maupun di Aceh Besar.

            Sulthan Mahmud Syah meninggal dunia karena serangan kolera setelah istana Sulthan di duduki Belanda pada tanggal 24 Januari 1874. tanggal meninggalnya perkiraan antara tanggal 28 Januari 1874 hal ini terkait dengan informasi yang di peroleh oleh Belanda dan selanjutnya di laporkan kepada Gubernur Jendral di Jakarta dengan kawat tanggal 28Januari 1874 bahwa di peroleh khabar bahwa Sulthan Mahmud Syah telah meninggal Dunia oleh kolera. Sehubungan dengan itu di kemukakannya pendapat sebagai berikut :

Jika berita kematian Sulthan benar keadaan akan lebih mudah, tapi benar tau tidakpun saya berpendapat bahwa tidaklah tepat lagi untuk mengikat perjanjian dengan Sulthan ini atau dengan Sulthan yang lain, atas alasan bahwa mereka telah membunuh utusan kita. Menguasai sendiri adalah lebih tepat “ eigen beheer is better”

Tentang saat meninggalnya Sulthan Mahmud Syah prof. Dr. T. Ibrahim Alfian dalam bukunya wajah Aceh dalam lintasan Sejarah, hal 90, mengemukakan sebagai berikut:

            “Setelah dalam dapat di rebut oleh Belanda pada tanggal 24 Januari 1874. Belanda menghentikan dahulu agresinya dengan harapan dapat tercapai persetujuan semacam traktat Siak dengan Sulthan Aceh. Pada tanggal 29 Januari 1874 Sulthan Mahmud Syah Mangkat di pagar Ayer terlilit penyakit koera dan di makamkan di Cot Bada. Pemimpin-pemimpin Aceh tetap menerusakan perklawanan terhadap Belanda”.

            Bagian yang penting dari segi peraturan politik, yang diselenggarakan dengan cepat oleh pihak Aceh yaitu menggantikan Sulthan yang telah meningal. Para panglima sagi yaitu Pangliuma Polim dari 22 Mukim, Tjut Lamreung dari 26 Mukim dan Tjut Banta dari 25 Mukim telah bulat mufakat memilih Sulthan
(Twk. Muhammad Daud Syah, Pen.) yang masih berumur antara enam dan tujuh tahun naik tahta dengan pangkuan dewan mangkabumi (pemangku). Tuanku Hasyim yang di tunjuk sebagai ketua dewan mangkabumi (pemangku) adalah merupakan pejabat yang berwenang bertindak atas nama Sulthan.

            Mengenai umur Twk. Muhammad Daud pada saat di angkat menjadi Sulthan atau pada waktu Sulthan Mahmud meninggal dunia ada tiga versi: Versi pertama: Berumur 4-5 tahun, Versi kedua : Berumur 6-7 tahun, Versi ketiga 9 tahun ( berdasarkan laporan dariu Van Switen kepada Gubernur Jenderal Laudon tanggal 10 Februari 1874 yang berbunyi sebagai berikut: Indonesianya:” tak seorangpun yang datang Raja-raja menjauhkan diri dan mereka telah memilih tuanku Daud yang berusia 9 tahun, cucu almarhum Sulthan Mansyur Syah untuk menjadi Sulthan dengan di pangku oleh 4 orang wali.

            Mengenai penobatan Twk. Muhammad Daud menjadi Sulthan menurut Prof. Dr. T. Ibrahim Alfian  adalah pada tahun 1878 ( empat tahun setelah Sulthan Mahmud Syah meninggal dunia. Pen) sebagaimana di ceritakannya dalam buku wajah Aceh Dalam lintasan sejarah , hal 98 yang berbunyi sebagai berikut:

            “ Untuk menunjukkan pada dunia luar, bahwa Aceh masih mempunyai pemerintahan, maka sesuai dengan hukum adat pembesar-pembesar Aceh menobatkan tuanku  Muhammad Daud Syah sebagai Sulthan yang menetap di Masjid Indrapuri pada tahun 1878. selama  Twk Muhammad Daud Masih Belum dewasa pemerintahan di jalankan oleh Twk Hasyim seorang yang sangat taat kepada agama sebagai mangkubumi”.

            Dalam bulan Januari 1876, raja Pidie Teungku Pakeh dalam telah di hadapkan dalam suatu fait accompli. Dia lebih setahun berada di Aceh Besar membantu perjuangan di pihak Aceh, sepulangnya di pidie, dari kapal perang belanda yang mengurung pantai itu di sampaikan kepadanya  kata dua mengakui kedaulatan Belanda atau dibombardemen kembali. Teungku Pakeh Dalam memberi tahu bahwa rakyat sudah  benci Belanda karena pemboman Kuta Asan dan penyerangan Belanda, di Akhir Desember 1873.Belanda bersedia mengganti kerugian rakyat, tapi dengan lain perktaan sebetulnya Belanda berusaha melunakkan Twe Teungku Pakeh Dalam dengan menyumbangnnya uang Sebesar f. 50.000. Padea Tanggal 28 Februari 1876 Teungku Pakeh dalam meenandatangani pernyataan mengaku takluk kepada Belanda dengan mengangkat sumpah, di samping mengangkat sumpah Tgk. Pakeh Dalam harus pula membenarkan Belanda mendirikan bentengnya di Pidie. Pada tanggal 4 Juni 1876 Belanda mendaratkan pasukannya dan menempati benteng Kuta Asan di bawah komando mayor H.R.F van Teyn.

            Rakyat menjadi amat marah dengan pendaratan tentara Belanda  yang kemudian menduduki benteng Kuta Asan di Pidie pada tanggal 10 Juni 1876, terus melakukan perlawanan dan pada Bulan April dan Mei 1878 benteng itu di serbu oleh rakyat di bawah pimpinan Ulama Tiro, demikianlah pertempuran berkecamuk di mana-mana dalam wilayah Luhak Pidie dan berlangsung puluhan tahun lamanya.

            Dalam bulan Juni 1877 Habib datang ke Garot (Pidie) menemui pahlawan Ulanma Tgk Muhammad Saman di Tiro, dan Iman Long Bata, yang juga datang kesana, untuk bermusyawarah mengenai strategi perjuangan melawan Belanda hasil pertemuan itu adalah medan perang Pidie dipergiat, gerilya di Aceh Besar harus lebih di aktifkan, teerutama penyerangan ke ibu kota (Kutaraja) dan pos-pos Belanda lainnta .sesuai dengan rencana Tgk. Chik di Tiro berangkat ke Aceh Besar dan mulai memegang peran aktif di medan ;perang sekitar pemimpin perang sabil. Terutama dengan di dukung murid-muridnya baik yang sudah berada di Aceh Besar, maupun yang terus membanjir dari Garot, Tiro dan dari bagian lain dari Luhak Pidie.

            Dalam bulan Maret1878 Habib Abdurrahman menyerang lam Karak. Dua bulan kemudian di adakan musyawarah di antara pemimpin pemimpin Aceh betrtempat di Cot Bada untuk membuat rencana menyerang pertahanan Belanda. Pada bulan Juni 1878 Habib Abdurrahman bersama lebih kurang 2000 orang pasukan menyusup melalui jalan gunung dan menduduki Leupueng serta lembah Gle Taron dan bersama T.Nanta menguasai Lhoong dan menyerang pos-pos Belanda di Krueng Raba, Bukit seuboin dan Peukan Bada. Kemudian Habib beserta pasukan-pasukannya dapat di pukul mundur. Ia mengadakan hubungan dengan Tgk. Chik di Tiro yang sedang menggempur Belanda di Sigli, dan kemudian Habib mengambil posisi di Montasik  untuk mempersiapkan penyerangan baru di Mukim  IV Aceh Besar.


            Tekanan dari pejuang-pejuang Aceh berja;an terus. Hal ini menyebabkan Belkanda mengirimkan kekuatannya kebagian Selatan Aceh Besar dan Aceh Barat pada Februari dan Maret 1878. Begitu juga karena adanya serangan yang terus menerus dari Tgk. Chik di Tiro terhadap pos-pos Belanda di Gigieng Pidie, maka dalam Bulan April dan Mei 1878, Belanda mengirimkan pasukan-pasukannya ke sana di bawah pimpinan Mayor W.W. Coblijn.

            Peristiwa penyerangan Mukim VI, Aceh Besar pada tanggal 16 Juli 1878 oleh Pasukan Habib Abdurrahman di bawah pimpinan Nyak Abu , menyebabkan Belanda mengadakan kembali agresinya  di Aceh Besar. Van der Heijden membersihkan daerah-daerah yang telah di kuasai oleh Habib Abdurrahman dan Tgk Chik di Tiro. Operasi Van der Heijden ini di mulai satu minggu setelah pasukan Habib memasuki mukim VI, yaitu tepatnya pada tanggal 23 Juli 1878. pada tangggal 25 juli 1878 benteng seuneulop dapat di rebut oleh Belanda dengan korban di pihak Belanda 6 orang Mati dan 42 luka-luka, kekalahan Habib di Bentengnya yang terkuat Seuneulop, membuat Habib ragu-ragu untuk dapat memperoleh kemenangan jika meneruskan perlawanan dengan menghadapi persenjataan Belanda yang amat kuat, karenanya ia mengadakan hubungan dengan pihak Belanda dan iapun berangkat ke Jeddah pada tranggal 23 November 1878 dengan mendapat tunjangan sebesar 12.000 ringgit saban Tahun dari pihak Belanda.

            Setelah Belanda mendirikan Benteng di Sigli berkali-kali mendapat serangan dari Tgk Chik di Tiro terhebat pada bulan April dan Mei 1878. Benteng Belanda di Pidie. Pada waktu itu di bawah komando kapten J.A Vetter ( 20 Tahun kemudian telah memperoleh pangkat letnan Jendral). Dalam penyerbuan  Tgk di Tiro 28/29 April 1878, Vetter kehilanghan letnannya Schutter dengan beberapa bawahannya.

            Akibat serangan terus menerus dari pasukan Tgk Chik di Tiro, mereka terpaksa bertahan dalam benteng, karenanya Belanda terpaksa meminta bantuan tambahan dan pada tanggal 7 Mei 1879 pasukan bantuan datang di bawah pimpinan mayor Coblijn. Belanda merencanakan akan menyerang ke kubu-kubu pertahanan Tgk Chik di Tiro dimana saja, di Pidie termasuk di Garot maka jendral Vander Heijden memutuskan bahwa dia sendiri akan tampil memimpin penyerangan di maksud.

            Pda tahun 1883 Twk Muhammad Daud Syah dianggap sudah dewasa untuk menjalankan tugas sebagai sulthan. Sulthan yang masih muda itu di akui setiap orang Aceh. Baginda di bantu oleh Tuanku Hasyim sebagai raja muda dan Tgk Chik di Tiro, yang turut menghadiri periustiwa itu sebagai kadhi.

            Setelah Twk Muhammad Daud di tabalkan menjadi sulthan, ia berseru kepada para Uleebalang agar meneruskan dan pengumpulan harta benda untuk perang sabil. Di samping itu di angkat pula untuk Wilayah Aceh Barat T.Umar sebagai Amirul Bahri atau panglima laut dan Tuanku Mahmud, Bangta kecil , adik Twk Hasyim Bangta muda sebagai wakil sulthan.

            Teungku Chik Di Tiro( Tgk Muhammad Saman) dengan pasukan-pasukannya yang bersenjata, baik yang di kerahkan oleh rakyat kampung, merupakan pasukan bersenjata yang dapat bergerak cepat dengan di bantu oleh pasukan pemimpin-pemimpin  dan Tgk Chik di Tiro tiba-tiba muncul di Mukim XXII lalu tampak pula di mukim XXVI. Dalam Agustus 1883 datanglah bantuan kurang lebih 500 orang dari pantai Utara dan pada bulan Juli 1884 pasukannya di perkuat lagi oleh 250 orang dari berbagai daerah dengan mengambil tempat di mukim XXVI. Penyerangan-penyerangan tewrus di lanjutkan sehingga Belanda terpaksa mengundurkan diri Dari mukim XXII dan sebagian dari mukim XXVI dan terpaksa bertahan di belakang lini pos-posnya yang kuat. Panglima perang Nyak Makam yang giat bergrilya di Aceh Timur langkat dan deli datang di Aceh Besar serta turut berperan dalam serangan-serangan terhadap belanda, antara lain menyusup ke pulau.

            Mengenai riwayat hidup Teungku Chik Di Tiro belum banyak yang dapat di ceritakan. Suatu sumber mengatakan bahwa ketika habib datang dari luar negeri dan mengadakan musyawarah di keumala dengan Sulthan Polim, Imam long Bata dan para terkemuka lainnya, kepada Teungku Chik di Tiro telah di beri kuasa untuk mengerahkan perang semesta di bagian Aceh Besar. Untuk keperluan ini beliau di angkat menjadi Wazir sulthan.

            Meningkatnya perlawanan terhadap Beelanda di Aceh Besar dalam Tahun1877 dan 1878, selain dilancarkan oleh Habib Abdurrahman dapat di pahami juga, di  lancarkan oleh Tgk Chik di Tiro yang tampil kedepan sebagai pemimpin  sabil di bagian Aceh Besar. Dengan berkecamuktyan perang di bagian Pidie juga di pimpin pula oleh Teungku Chik di Tiro, nyatalah bahwa Ulama Besar ini tidak hanya memimpin sabil di Aceh Tapi juga memimpin sabil di daerah Pidie.

            Penyair Doekarim mengisahkan Tentang Teungku di Tiro sebagai berikut: Masuk ke Aceh Besar dengan pengikutnya yang banyak para patriot Pidie beliau telah bertapa lebih dahulu ke lampaih, untuk beberapa bulan lamanya. Banyaklah penduduk berziarah ke tempat ini ,banyak pula yang berelajar . banyak pula Teungku Syeh Saman yang melahirkan Kader-kader pejuang yang selanjutnya tersebar ke tempat-tempat pejuang di Aceh.

           
            Lampaih itupun merupakan tempat Teungku Chik di Tiro menerima orang yang insaf kembali, mulai dari golongan uleebalang sampai orang hukuman pun ada juga di catat tentang datangnya orang-orang tionghowa dan selain itu datangnya dua orang perwira bawahan belanda yang di sersi (lari) , insaf sesudah memperhatikan kesucuian pejuang Teungku Di Tiro dan mengetahui keganasan bangsanya. Kedua orang Belanda itu menyebrang untuk membantu dengan sepenuh hati, pada Teungku Chik di Tiro pengetahuan mereka tinggi, ahli membuat senjata api dan obat bedil, cukup bermanfaat untuk perjuangan ketika diketahui buktinya.      

           
            Di ceritakan oleh Doekarim bahwa Tgk Chik Di Tiro giat memberi nasehat dan petunjuk betapa besar dosanya membiarkan orang kafir menguasai tanah air orang islam. Mereka yang insaf mendapat ampun tapi mereka yang tidsak insaf akan menerima bagiannya. Itulah pula sebabnya meraka yang menjadi mata-mata musuh tidak di beri kelonggaran sedikitpun, lebih-lebih pula terhadap pisau tajam dua belah . pada suatu ketika Uleebalang angkatan Belanda. Teungku Anak Paya  dari IV mukim telah di desak Belanda supaya menunjukkan tempat Tgk Chik di Tiro. Dengan Hati Berat Tgk Anak Paya menjalankan desakan ini, tapi sebelum berangkat telah di utusnya seorang suruhan untuk memberi lahu lebih dahulu kepada Tgk Syeh Saman di Tiro  bahwa tentara Belanda akan Datang pada waktu dan jam yang disebutkannya, ketika mana ia ajakan turut sebagai  penunjuk jalan. Tapi di mintanya supaya dia jangan di tembak terhadap pemberitahuan itu sadarlah Tgk  Chik Di Tiro bahwa Tgk Anak Paya tidak dapat di percaya. Pada suatu kesempatan yang baik , Tgk anak payapun mati terbunuh.. dengan ketegasan Tgk Chik Di Tiro itu tidak mengherankan  apa sebabnya penyelewengan Habib tidak berakibat kelemahan perjuangan. Melainkan sebaliknya  Tgk Chik Di Tiro semakin sadar bahwa keteguhan tekad menyempurnakan tegas di jalan Allah (fi sabilillah)adalah syarat pertama untuk mencapai kemenangan. Ketika Teuku Umar  berada di Aceh Besar, selalulah keduanya memusyawarahkan taktik strategi perjuangan dan dimana perlu mengkoordinasikan itulah sebabnya Belanda sangat terpukul sekali di masa itu.

            Pada bulan Oktober 1887 pasukan Tgk Chik di Tiro dengan kekuatan 400 orang memasuki Garis pertahanan Belanda antara meusapi dengan Raja bedil. Dalam pertempuran itu di pihak Aceh 41 orang tewas, sedangkan di pihak Belanda 4 orang mati dan 17 luka-luka. Adanya serangan seperti ini membuat Van Teijn mulai sedikit demi sedikit meninggalkan politik menunggu, baik sekitar garis pertahanan konsentrasi maupun di luar Aceh Besar ia menjalankan politik yang lebih Aktif, untuk membendung dan melawan pengaruh T. Umar dan Twk. Mahmud yang bertindak sebagai wakil Sulthan di Aceh Barat serta pengaruh Tgk Yusuf utusan Tgk Chik di Tiro ( Muhaammad Saman, pen) di daerah tersebut, bahagian-bahagian tertentu pantai Aceh di Tutup untuk Impor dan ekspor serta di larangan penangkapan ika juga di laksanakan sebagai hukuman terhadap oarang-orang Aceh yang membantu tokoh-tokoh tersebut di atas sepanjang kekuatan armada Belanda mengizinkannya.

            Pada bulan Juli 1889 Tgk. Chik Di Tiro ( Tgk Muhammad Saman,Pen) Penghantam kedudukan Belanda di dekat Kota Pohama, hanya beberapa kilometer dari Kuta Raja, dengan korban 22 orang mati dan 94 lorang luka-luka di pihak Belanda. Belanda mengadakan serangan balasan terhadap benteng Aceh di tempat ini dan akibatnya di pihak Aceh ada yang menyerah dan beberapa puluh orang mati syahid.

Pada bulan Januari 1891 Tgk Chik di Tiro Muhammad Saman telah berpulang ke rahmatullah, yang kemudian di susul oleh T. Panglima Polem Muda Kuala.. Syaikh Muhammad Saman di gantikan oleh Anaknya bernama Tgk Muhammad Amin sebagai Tgk Chik di Tiro dan di akui oleh Sulthan Muhammad Daud. Tgk Panglima Polem Muda Kuala yang di gantikan oleh Putranya T.Raja Daud. Ia dio bantu oleh dua Panglimanya, abang iparnya T. Ali Basyah dari Geudong dan T. Ibrahim montasi. Raja daud bekerja sama dengan ulama-ulama yaitu Tgk Mayet Tiro ( putera no.2 dari Tgk. Muhammad Saman Tiro), Tgk Klibeut, Habib Lhong dan tgk Pante Glima mendirikan benteng-benteng untuk menghadapi serangan Belanda di Mukim XXII.

            Setelah meninggalnya Tgk Chik di Tiro, Mulai juli 1891 sampai dengan Februari 1892 Dr. Snouck Hurgronje mengadakan penyelidikan mengenai agama dan politik Aceh untuk mengetahui bagaimana sikap para ulama dengan meninggalnya Tgk chik Di Tiro Muhammad Saman dan bagaimana pengaruh mereka serta jalan manakah yang harus di tempuh oleh sulthan aceh dalam memenuhi kehendak para ulama. Sebagai hasil penelitiannya Snouck Hurgronje berkesimpulan bahwa pada umumnya yang di hadapi oleh belanda adalah sebuah gerakan rakyat fanatik yang di pimpin oleh ulama dan mereka ini hanya dapat di taklukkan bila mana Belanda mempergunakan kekuatan senjata dan kontak dengan mereka tidak boleh di adakan sebelum mereka menyerah.

            Inti sari pendapat yang di simpulkan oleh  Dr. Snouck Hurgonje mengenai penyelesaian Aceh ialah:
1.      Hentikan usaha mendekati sulthan dan orang-orang besarnya, sebab sulthan itu katanya , sebetulnya tidak berkuasa. Kalau dia dapat di ajak damai, tidaklah dengan sendirinya berarti yang lain-lain akan turut serta damai. Mengenai fungsi sultan, Snouck Hurgronje di dalam bukunya telah menunjuk surat yang pernah di sampaikan oleh ulama Tgk Chik di Tiro kepada Belanda ketika ulama Tiro menyatakan : “ herannya kenapa Belanda selalu saja Berusaha untuk mencari Hubungan dan Mendekati Sulthan. Menurut Chik Tiro kata Snouck, sulthan tidak dapat berbuat apa-apa tanpa berunding dengan Tgk. Kali Malikul Adil, Tgk Ne’ , Panglima Mesjid raya dan Imam Longbata. Tapi pembesar yang 4 inipun tidak dapat berbuat apa-apa karena mereka tergantung pada 3 Panglima Sagi tergantung pula pada ketujuh kaum, yaitu wakil rakyat. Sedangkan rakyat tidak akan berbuat apa-apa kalau tidak sesuai dengan pendapat-pendapat ulama. Selanjutnya ulama akan mengumumkan pendapatnya menurut Hukum Allah dan Rasul. Demikian Hierarchinya wewenang itu kata Tgk. Chik Di Tiro, menurut Dr. Snouck Hogronje”
2.      jangan mencoba-coba mengadakan perundingan dengan musuh yang Aktif, terutama jika mereka terdiri dari para ulama. Sebab keyakinan merekalah yang menyuruh mereka melawan Belanda. Terhadap mereka haruslah pelor yang berbicara.
3.      Rebut lagi Aceh Besar.
4.      untuk mencapai simpati rakyat aceh giatkan pertanian, kerajinan dan dagang.
Selanjutnya di usulkan:
v  membentuk biro informasi buat staf2 sipil, yang keperluannya memberi mereka penerangan dan mengumpulkan pengenalan mengenai hal ihwal rakyat dan negeri Aceh.
v  Membentuk kader-kader pegawai negeri yang terdiri dari anak bangsawan Aceh membikin korp pangreh praja senantiasa merasa diri kelas memerintah

Dari tahun 1898 sampai 1903 adalah babak pertempuran habis-habisan bagi Sulthan, polim, umar demikian juga bagi ulama Teungku Chik di tiro ( Tgk Mayet). Sejak 1 juli 1898 mulai berkecamuk perang habis-habisan di Pidie, hingga sebulan lamanya seorangpun belum ada Tokoh-tokoh penting di pihak Aceh yang tewas (syahid). Sebaliknya di pihak Belanda sudah banyak di timbulkan korban, sekalipun hanya dari pangkat kapten ke bawah.

            Pada penyerangan Belanda kedua di Tangse pada tahun 1898 telah di putuskan untuk membagi-bagi tugas dari para pahiawan Sulthan Panglima Polim, T. Umar dan Tgk. Chik di Tiro ( Tgk Mayet)yang dalam waktu sebelumnya sudah berada di sana, mengatur lagi siasat perang untuk menghadapi kenyataan-kenyataan yang ada.

            Pada bulan November 1902, Belanda menanggap istri Sulthan Pocut Putroe, di tahan di sabang dan kemudian pada tanggal 23 Desember 1902, isteri kedua Pocut  di Murong dan Putra Mahkota Twk. Ibrahim (14 tahun) di tangkap oleh Belanda. Belanda menetapkan bahwa isteri-isteri dan putra mahkota sulthan baru di lepaskan jika di tebus dengan dirinya sendiri.

            Pada masa inilah Sulthan kehilangan pedoman dalam kewajiban harus bergantung pada kepentingan perjuangan, karena mungkin ia dalam waktu yang sama sedang menyadari benar tanggung jawabnya yang harus di pikul terhadap keluarga yang sedang meringkuk dalam kesewenang-wenangan Belanda.

Sulthan menyerahkan diri

            Akhirnya sulthan memilih untuk menebus keluarganya dengan dirinya. Ini berarti bahwa dia menghentikan perjuangan terbuka. Usaha yang masih dapat di lakyukannya sebelum menyerah ialah mengirimkan pesan kepada Panglima Polim dan Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman telah meninggal dunia pada tahun 1891 Aneuk Galong aceh Besar, Kedudukannya digantikan oleh putranya tertua Tgk. Mat Amin, yang selanjutnya sebagai Tgk Chik Di Tiro – Tgk Mayet, Tgk Mayet mati syahid di Gunung Halimun tangse pada Tahun 1910  dan mayatnya di jemput oleh masyarakat pulo mesjid 1 Tangse – { tanah kuburan milik T. Itam tangse- Pen} bahwa menyerahkan perjuangan kepada mereka). Setelah itu lalu dengan surat bertanggal 6 januari 1903 dikirimlah khabar olehnya kabar kepada Gubernur Van Heutsz di Kuta raja bahwa dia bersedia menyerah.

            Dalam penyerahan diri tersebut Sulthan menghendaki syarat-syarat, di antaranya bahwa dia tidak hendak bertanggung jawab kepada Belanda jika perlawanan masih berlanjut. Sebagai seorang raja, dia berkehendak mendapat perlakuan menurut biasanya kebiasaan  internasional yang zalim. Di samping itu Sulthan membuat beberapa ketentuan tentang prosedur penyerahan diri. Dia meminta tokoh-tokoh berat dari Aceh yang sudah berpihak kepada Belanda yang harus datang menjemputnya di satu tempat. Perwira tertinggi Belanda di bagian itu harus menjemputnya di tempat yang di tentukan, untuk kemudian bersama-sama berangkat ketempat di mana dengan resmi penyerahan di langsungkan.

            Van Heustz menerima kabar permintaan menyerah itu dengan sangat gembira. Van Heustz menyambut bahwa dia bersedia memenuhi syarat yang diinginkan oleh Sulthan kecuali dalam hal-hal yang dia sendiri tidak berwenang memutuskannyadan dalam hal yang mutlak tidak mungkin.

            Hal yang dia sendiri katanya tidak dapat memutuskan, ialah bahwa hanya kepada Gubernur jenderal Belanda di Jakarta tenggelam wewenang untuk menentukan bagaimana sulthan akan di perlakukan dan kemana Sulthan akan ditempatkan. Hal yang mutlak bahwa sulthan harus menandatangani penyerahan dimana akan di terangkan bahwa dia mengakui takluk dan dia tidak boleh mengadakan perlawanan lagi.

            Sesuai dengan permintaan, Van Heustz mengirim tokoh-tokoh yang mengelukan, yang akan di antar secara Khusus oleh kapal sibolga dari uleleh ke Sigli mereka itu ialah (1). Twk. Mahmud, Paman Sulthan. (2). Twk. Ibrahim, anak Twk. Hasyim; (3). Twk Husin, bekas panglima Aceh; (4) 2 orang uleebalang terkemuka  yang sudah bekarja sama, yaitu panglima XXV dan XXVI mukim; (5) Tiga anggota keturunan Polim.
            Sultan di jemput oleh mereka ke Arusan (ie Leubeu) lalu di antar ke Asam Kumbnang. Di jaman ( Beureunuen) telah menunggu kereta api Ekstra yang akan membawa Sulthan secara kehormatan naik melewati Sigli menuju ke peukan Pidie beristirat di sini. Tanggal 10 Januari 1903, Sulthan danm rombongan berangkat menuju Sigli. Sesampai di Stasion Sigli , Sultan di Sambut oleh pihak militer Belanda yang di kepalai oleh Mayor Van er Maaten sendiri.

            Tanggal 13 Januari 1903 Sultan, isterinya Pocut Murong dengan Rombongan pengiring sejumlah 175 orang bertolakdari Sigli menuju ke Uleleh dengan sebuah kapal perang “sumbawa” dan “dag” di uleleh telah menunggu kereta api ekstra, dalam coupe istimewa dia berangkat menuju Stasion Kutaraja, dimana kereta juri kenaikan Gubernur Van Heustz.

            Tanggal 15 Januari 1903 Sultrhan diterima oleh Van Heutsz dan Tanggal 20 januari 1903 diadakanlah upacara penyerahan diri sulthan Di tempat Gubernur. Hadirlah para pembesar sipil/militer Belanda dan para undangan. Sulthan membuat pernyataan dalam bahasa indonesia yang kemudian di terjemahkan oleh juru bahasa J.H. Mobeek, bahwa: (1) dia menyerahkan diri kepada Gubernur, (2) bahwa kerajaan Aceh sebagian dari Hindia, Belanda. (3) bahwa dia senantiasa setia kepada Ratu Belanda dan kepada Wakilnya gubernur Jendral dan (4) dia rela menerima segala sesuatu keputusan yang di tentukan kepadanya bahkan juga menjalankan perintah kepadanya. Sultan Muhammad Daud naik tahta tahun 1296 Hijriah, semasa (+/- 1876 Masehi)

            Selesai pernyataan, Van Heutsz menyambut dengan beberapa patah kata bahwa: (1) menerima penyerahan diri itu, (2) bahwa dia belum dapat menentukan sesuatu tentang dirinya melainkan menunggu ketetapan gubernur Jendral, (3) bahwa dia menantikan dari Sulthan supaya mengirim surat kepada Uleebalang dan kepala-kepala menyuruh mereka menyerah dan menghentikan segala perlawanan, dan (4) bahwa untuk sementara Sulthan dapat tunjangan sebesar f 1000,- sebulan.

Panglima Polim Menyerah

            Pada tanggal 6 September 1903, panglima Polim dan iparnya Twk Raja Keumala ( anak Twk. Hasyim) bersama 150 prajurit lengkap dengan senjata datang melapur pada kapten Colijn, selaku civiel gezaghebber di Lhok Seumawe. Atas persetujuan gubernur Jendral Belanda di Jakarta, panglima Polim di angkat menjadi Kepala Sagi Di Sagi XXII mukim terhitung mulai tanggal 1 Januari 1904. dengan demikian posisi panglima polim telah berubah menjadi uleebalang yang bekerja sama.
Bersama Panglima Polim dan Twk. Raja keumala turut menyerah Teuku Tjih, Lothan dan Raja Meukuta Geudong, Teungku Jjit serta Ayahnya awal bulan November 1903 menyerah lagi Raja Hitam dari Buloh Beureugang dan Tgk. Raja Lhokseumawepun juga telah datang menyerah Teuku Muda Peudada di Lhokseumawe Sesudahnya beberapa sebelum itu (dalam Tahun 1903) letnan Belanda Chistoffel “berhasil” menculik isteri dan anak-anaknya. Teuku ubit Samalanga menyerah dalam bulan Desember 1903.



Maklumat Ulama seluruh Aceh
            Setelah Indonesia Merdeka pada Tanggal 15 oktober 1946, di keluarkanlah “ maklumat ulama seluruh Aceh”  yang merupakan suatu pernyataan pengakuan rakyat Aceh terhadap republik Indonesia dimana daerah Aceh dan Rakyat aceh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari negara Republik Indonesia. Maklumat Ulama seluruh Aceh tersebut terdiri dari 7 poin, di antaranya :
*      Perang dunia kedua yang maha dahsyad telah tamat. Sekarang di barat dan di Timur oleh 4 kerajaan yang besar sedang di atur oleh perdamaian dunia yang abadi untuk keselamatan makhluk Allah. Dan Indonesia tanah tumpah darah kita telah di maklumkan kemerdekaannya kepada seluruh dunia serta telah berdiri Republik Indonesia dibawah pimpinan ir. SUKARNO.
*      Seganap lapisan rakyat telah bersatu padu dengan patuh berdiri di belakang pemimpin ir. Sukarno untuk menunggu perintah dan kewajiban yang di jalankan.
*      Menurut keyakinan kami perjuangan ini adalah sambuangan perjuangan dahulu di Aceh yang di pimpin oleh almarhum Tgk. Chik di Tiro dan pahlawan-pahlawan kebangsaan yang lain.
*      Dari sebab itu bangunlah wahai bangsaku sekalian, bersatu padu menyusun bahu mengangkat langkah maju ke muka untuk  mengikuti jejak perjuangan nenek kita dahulu. Tunduklah dengan patuh kepada segala pemerintah pemimpin kita untuk keselamatan Tanah air agama dan Bangsa.

Maklumat ulama seluruh Aceh ini di tanda tangani oleh: (1) Tgk Haji Hasan Krueng Bale,(2) Tgk M.Daud beureueh (3) Tgk Haji Dja’far Sidik, (4) Tgk Haji Ahmad Hasballah Indrapuri, kesemuanya mewakili ulama dan di ketahui oleh T. Nyak Arif selaku Residen Aceh serta di setujui oleh Tuanku Mahmud selaku Komite Nasional.

            Maklumat ulama inilah yang secara yuridis formal dapat di anggap sebagai bukti pernyataan sikap dari seluruh Rakyat aceh yang di wakili oleh para Ulama yang cukup representatif, kepala pemerintahan di Aceh yaitu Residen Aceh dan ketua komite Nasional (Lembaga Legislatif) pada waktu itu, “ bahwa Aceh adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Republik Indonesia dan rakyat Aceh adalah bagian dari Bangsa Indonesia

                                                            *****

           

Pemerintah Belanda yang pada masa itu memang dalam keadaan yang lemah mendapat pukulan pukulan yang lebih banyak lagi; sesudah periode Habib , maka para Ulama Tiro pula yang memegang palu Godamnya. Teungku Syèh Saman di Tiro menaksir kewibawaan kita tidak lebih tinggi dari ini.

            Dialah orang yang telah mengorganisir “perang sabil”, ia berkeliling ke mana-mana untuk mentablighkan rakyat supaya mengadakan perlawanan terhadap kafir, sebuah pekerjaan yang di sukai Allah. Dan mereka tidsak mampu memegang senjata di wajibkan untuk selalu menyerahkan uang ke kas perang. Para pengutib “Uang sabil” yang dikuasakan dengan capnya tidak pernah kembali dengan tangan hampa. Teungku Syèh Saman sangat taat kepada peraturan-peraturan islam dan kekuasaannya jauh lebih besar dari sultan sendiri.

            Kepada para Ulèëbalang yang tidak dapat ditemuinya secara bermuka-muka ia mengirimkan surat yang mengajak mereka itu supaya berjalan pada jalan Allah; surat-suratnya itu biasanya di mulai dengan mukaddimah dalam bahasa arab sebagai berikut:

            “Segala puji hanyalah bagi Allah semata-mata, yang telah menepati janjiNya, yang memimpin hamba-hambaNya kepada kemenangan, yang menguatkan tentaraNya sehingga musuh-musuhNya melarikan diri. Selawat dan salam untuk Muhammad yang sesudahnya tidak akan ada rasul-rasul lain serta keselamatan bagi keluarga dan para sahabatnya yang mengikuti syariatNya!”

            Salah sebuah suratnya pada bulan september 1885 berbunyi (Menurut terjemahan resmi) sebagai berikut:

            “ Milik siapakah alam ini sekarang?
            Milik Yang Esa, Yang Perkasa ! Segala puji hanyalah hanyalah bagi Allah Semata-mata!

Ammaba’du. Inilah sebuah anjuran dari seorang “fakir”(sebutan bagi orang pertama yang biasa dipakai dalam bahasa arab) bernama Haji SYЀH SAMAN TIRO, seorang hamba yang berjihad pada jalan (sabil) Allah di dalam negeri ACEH “daras salam wal aman”: negeri yang aman dan sejahtra. Seruan ini di tunjukkan kepada imam-imam negeri, Teungku-Teungku, keuchik-keuchik, Panglima-panglima dan akhirnya kepada kaum muslimin dan pertama-tama kepada yang terhormat teuku NЀK MEURAKSA,  kepada teuku PANGLIMA MESJID RAYA dan teuku QADLI.

Takutilah Allah s.w.t. Yang Maha Besar dan Perkasa dan taatilah perintah-perintahNya; tinggalkan apa yang di larang atau di haramkanNya; anjurkanlah yang demikian itu kepada kaum muslimin dan juga supaya mereka itu mengadakan persiapan-persiapan untuk memerangi kaum kafir; bantulah peperangan dengan jasad, harga, rakyat atau jika ini tidak memungkinkan, maka berhijrahlah karena ini merupakan kewajiban, yakni pindah kepada saudara-saudara islam dengan maksud turut serta berperang pada jalan (sabil) Allah.

Jika tuan-tuan mengikuti anjuran ini, maka kami akan memanjatkan doa semoga Allah akan memberi balasan yang berlipat ganda, balasan untuk tuan-tuan sendiri serta rakyat tuan-tuan karena rakyat tuan-tuan mengikuti pimpinan taun-tuan, baik keselaman di dunia maupun di akhirat kelak. Akan tetapi jika tuan-tuan tidak mengindahkan seruan ini, maka kami khawatirkan, bahwa selagi di dunia ini tuan-tuan akan menerima hukuman yang berlipat ganda pula dari Allah s.w.t dengan penghinaan dan kerugian serta di hari kemudian akan mendapat siksaan api neraka yang pedih dan dalam keadaan yang serendah-rendahnya sebagai hukuman yang paling berat.

ALLAH, ALLAH! Takutiah ALLAH dan janganlah tuan-tuan meninggal sebelum menjadi orang-orang yang beriman.


Janganlah tuan-tuan sampai tertipu oleh kekuasaan kaum kafir, dengan harta mereka, dengan persenjataan-persenjataan mereka serdadu-serdadu mereka yang baik di bandingkan dengan kekuatan kita, milik-milik kita dan kaum muslimin, karena tidak ada yang berkuasa, yang kaya dan tidak ada yang memiliki balantera yang terbaik selain ALLAH s.w.t. dan tidak ada yang beruntung atau rugi selain ALLAH s.w.t. dan yang dapat memberikan kekalahan atau kemenangan selain Rabbal’alamin.


Kita, makhlukNya, tidak mempunyai daya gerak atau diam, hidup atau mati, kehormatan atau penghinaan, kemenangan atau kekalahan selain dengan kodrat ALLAH s.w.t oleh karena itu kaum kafirpun dapat di menangkan dengan izin ALLAH s.w.t melalui lidah rasulNya s.a.w di dalam Qur’an dan hadits dan perkataan-perkataan suci lainnya. Akan tetapi tuan-tuan akan memperoleh bahagian di akhirat kelak jika pereintah ALLAH dan seruanNya yang kami sampaikan karena ALLAH semata-mata tidak tuan-tuan taati dalam hal ini tuan-tuan bahkan akan kehilangan tujuan, yakni kehormatan, harta dan kehidupan yang tentram di dunia ini!”

            Orang harus mengenal jiwa orang Aceh yang penuh emosi itu untuk dapat memahami refleksi kata-kata di atas dan betapa kuatnya reaksi yang dapat di timbulkan pada semangat mereka yang selalu bertualang dalam pertempuran dan telah menjadi darah daging mereka itu ! Bukankah pernah terjadi, bahwa kekuasaan Aceh meluas jauh sampai-sampai ke ujung Selatan Padang.

          Di dalam surat menyuratnya itu Teungku Syéh Saman menuju sasarannya   kepada pemerintah  kita di Aceh; pada bulan itu juga, tahun 1885, ia mengirimkan suratnya kepada Residen Van Langen di kuta raja yang isinya tak lain daripada sebuah ultimatum. Ia menawarkan perdamaian . . . asal saja orang-orang Belanda mau menganut agama islam, Terlebih dulu pemerintah !
Ia merumuskan persoalannya sederhana sekali: menganut agama islam dan hidup berdamai dengan orang-orang Aceh atau di usir dari daerah itu secara kekerasan dengan ancaman: masuk neraka di akhirat kelak!

            Di bawah ini saya terakan terjemahan resmi suratnya yang di sebut di atas yang menggambarkan suasana Aceh pada masa itu :(‘)

Bahwa inilah ‘alamat kami Teungku di Tiro barang disampaikan kiranya ke hadapan/majlis seri paduka Asisten Residen tinggal sekarang di kuta/raja di tanah Aceh Besar adanya/syahdan adalah dahulu masa kami dalam dua puluh enam pada tahun yang berlalu masa kami dalam dua puluh enam pada tahun yang terdahulu antara tuan/surat bersurat atas jalan bersaleh-saleh serta kami telah jawab surat dengan terang dengan syarat tuan/besar itu masuk islam mengucapkan dua kalimah syahadat. Ketika itu boleh kami bersaleh-saleh maka dalam itu/tiadalah datang daripada tuan jawab surat kami hingga sekarang juga boleh tuan-tuan masuk/agama islam dan menurut syari’at Nabi itulah yang terlebih baik atas tuan-tuan sejahtra dunia dengan/tiada terbunuh di mana-mana dan tiada ‘aib lari pontang panting tiap-tiap sawah dan serokan dan hutan/dan jalan dan barang kali dengan kekuasan Tuhan seru sekalian ‘alam keluar kompeni dalam negeri Aceh ia tertangkap serdadu/dan orang kompeni serta ambil b.k. alif.s.n dan arta itulah yang sehabis keji dengan orang muslimin Aceh yang/dha’if lagi miskin dan yang terlebih jahat lagi itu siksa api di dalam neraka jahannam dengan hukum tuhan yang amat kuasa/maka jika tuan-tuan mau masuk islam bersama orang-orang Aceh, maka kami harap pada Tuhan seru sekalian ‘alam terpelihara/dari pada nyawong dan darah dan arta dan menyegah dan terpelihara daripada ‘aib keji tangkap dibawa kemana-mana atau terbunuh/dengan kehinaan barang kali jika tuan-tuan dengan dan nurut seperti nasehat kami ia dapat untung yang baik dapat kemegahan/jadi tuan-tuan akan kepada kami dan dapat arta sepeti yang telah lari-lari kepada kami telah dapat arta banyak dan/duduk berjalanpun enak-enak tiada di hukum seorang atasnya dan tidur makanpun sedap tiada seorang/yang tegah dan tempelak seperti burung dalam hutan diatas pohon dan seperti ikan yang dalam air hingga berapa/dapat perempuan yang tiada campuran orang dengan dirinya tiada mengaku daripada hukum islam setengahnya yang/telah lari kepada kami sudah dapat anak-anak.maka yang lebih baik dari itu sejahtra akhirat dengan baik kembali kedalam/syurga yang banyak nikmatnya kekal selama-lamanya tiada mati lagi bertambah-tambah nikmat dan lezat berlain-lain  tiap-tiap/yang hawanya nafsu daripada makanan dan minuman dan perempuan dan buah-buahan segeralah hasil/dan pakaian sejenis sekurang-kurang martabatisi syurga itu lapan puluh ribu khadam kulah qamar permata intan yang satu biji daripadanya/itu terlebih daripada dunia dan barang yang dalamnya dan tujuh puluh bidadari perempuan yang menurut (q(p?)-alif-w- akan kita/dan dapat kheurajeuen yang terlebih daripada  sepuluh kali Kheurajeuen  dunia sekalian itulah yang halnya akan tuan/yang boleh masuk islam barang kali dengan rahmat Tuhan Allah syahid Tuan pada perang dengan kafir, maka itupun /berganda-ganda nikmat tujuh ratus ribu ganda karena apa tuan-tuan tiada pikir yang kemenangan dunia dan akhirat/setelah Tuan datang azab daripada Allah ta’ala dunia dan akhirat wassalam ala manit taba’al huda



FIZIL Hiijah 16 – 1302                      (cap dengn tulisan Syéh saman di Tiro)
            Surat-surat seperti ini ada yang lain-lain menunjukkan juga bagaimana orang-orang Aceh berpikir tentang pengunduran kita ke dalam lini konsentrasi; mereka melihat tindakan ini sebagai permulaan dan akhirnya posisi Belanda di Aceh dan sebagai bukti kelemahan kita untuk menggempur daerah itu dengan kekuatan senjata.

            Di  bawah ini saya terakan pula jawaban Tuan Keuchenius, menteri jajahan Belanda terhadap ajakan Teungku Syéh Saman di Tiro supaya Gubernur Aceh menganut agama islam sekiranya ia tidak ingin di usir secara keji dari Aceh.

            Di dalam surat kabinet Belanda bertanggal 15 Agustus 1888 huruf X no.52 Menteri a.l. meminta perhatian Gubernur Jendral mengenai tuntutan ulama Tiro tersebut sebagai berikut:

“Tungtutan yang tidak wajar agar kita menganut agama islam tentulah diketahui juga oleh Teugku di Tiro maksud ayat  ke 257 surat ke dua di dalam Qur’an yang berbunyi :  “Tidak ada paksaan dalam agama; barang siapa mengingkari Tagut dan beriman kepada Tuhan , maka ia memegang tongkat yang tidak akan patah”’(‘)

            Inilah jawaban seorang Menteri Belanda atas tantangan tidak sopan dan sombong seorang Ulama hampir 20 tahun semenjak pecahnya peperangan di Aceh. Ini adalah kenyataan pada tahun 1888 sesudah tersiar berita-berita kemenengan sombong Komandan ekspedisi ke dua pada Bulan Desember 1873 , januari dan Februari 1874 (“):

28 Januari 1874        :     “ Semuanya memberikan kepercayaan, bahwa peperangan telah usai. Panglima pólém dan sultan bermaksud hendak meneruskan peperangan, tetapi tidak dapat.”

6 Februari 1874        :     “Orang-orang yang mengenal watak rakyat menerangkan, bahwa dapat di harapkan semua rakyat akan berdamai.”

13 Februari 1874      :     “Bertambahnya tanda-tanda, bahwa rakyat sudah jemu berperang dan merasa di kalahkan.”

            Adalah suatu optimisme Panglima yang di buat-buat dan sangat dipaksakan untuk segera menutup satu periode - yang merupakan masanya sendiri! - yang telah di pamerkannya sebagai suatu kemenangan yang berhasil baik sebelum terlihat tanda-tanda kegagalan.

 

            (‘) kutipan ayat Qur’an yang dipergunakan sebagai jawaban Menteri tersebut sudah dikebiri krena lengkapnya berbunyi: “Tidak ada paksaan dalam agama, kebenaran jelas berbeda dari kesesatan. Karena barang siapa yang kufur kepada Tagut (=yang kufur kepada (apa-apa) yang melewati batas) dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat Teguh, Yang tidak putus, Dan Allah itu maha mendengar, maha mengetahui.”

                (“) komandan ekspedisi kedua itu adalah teman Jendral J.Van Swieten, seorang jendral pensiunan yang di aktifkan kembali karena di serahi tugas untuk menyerang aceh setelah ekspedisi pertama di bawah pimpinan jendral J.H.R Köhler, gagal, ia pula telah menandatangani perjanjian “perdagangan, perdamaian dan persahabatan Belanda Aceh “ dengan Sulthan Alaidin Ibrahim Mansursyah 30 Maret1857.


            Pada tahun 1888 teungku Syéh Saman di Tiro memajukan syarat kepada residen supaya ia bersama semua orang Belanda lainnya menganut agama islam untuk menghindarkan pengusiran mereka secara keji dari Aceh.

            Sepuluh tahun kemudian aspeknya telah berobah sama sekali; Van Heutsz dan Van Daalen dengan sejumlah pemimpin bawahannya cekatan telah berhasil mematahkan setiap kekuatan pihak Aceh dan menghalau pasukan-pasukan lawan dari lembah-lembah dan gunung-gunung dengan batuan pasukan-pasukan yang telah memiliki kembali kepercayaan pada diri sendiri.

            Perobahan situasinya menggambarkan dengan jelas  dalam cara penyingkiran keluarga ulama Tiro yang angkuh serta takbur itu. Di bawah ini di nukilkan sejarah kehancuran mereka itu.

                                                            ***  


GUGURNYA PARA ULAMA TIRO


            Nama keluarga Tiro telah mencapai puncak kekuasaan dan pengaruh yang tidak ada taranya dibawah pimpinan Teungku Syéh Saman. Sayang sekali dia tidak dapat menyaksikan kehancurannya itu. Hutang-hutang itu di bayar oleh putra-putranya, cucu-cucunya dan sanak saudara lainnya.
            Pada waktu hendak mengakhiri hayatnya pada bulan Januari 1891 - menurut  Snouck Hurgronje – Teungku Syéh Saman menyuruh panggil putranya yang tertua bernama Mat Amin dan menyampaikan sebuah peringatan kepadanya dengan kata-kata keras dan sungguh-sungguh karena anaknya ini adalah seorang yang nakal juga, yang suka bergaul dengan wanita-wanita yang untuk Uléebalang mungkin tidak, tetapi Ulama merupakan tindakan yang sangat tercela.(‘)
            Ia seorang  yang sombong, keras hati, suka berpesta pora dengan uang yang dikumpulkan untuk perang sabil, akan tetapi hal ini tidak menjadi suatu halangan bagi ayahnya untuk menggantikannya, bahkan Sulthanpun telah memperkuat kedudukannya itu pada tahun 1892. barangkali sekarang orang-orang dapat berkata mengenai kelakuan-kelakuan buruk anak-anak Ulama besar Tiro itu, tetapi dengan segera – demi keadilan – orangpun harus berkata , bahwa mereka itupun berani syahid  sebagai seorang pahlawan. Gugur dalam peperangan, menurut tujuannya sendiri, bukanlah suatu hadiah hidup tetapi suatu resiko perang; ia bukan suatu pengorbanan yang di lakukan dengan kesadaran, tetapi suatu konsekwensi yang harus di alami. Hal ini berbeda dengan sebagian keluarga-keluarga ulama Tiro; bila mereka
               


 

(‘) Anggapan-anggapan ini tidak benar. Perbuatan-perbuatan tercela dilarang di lakukan oleh semua orang.


Di suruh pilih secara bebas ; Hidup atau syahid, maka mereka akan memilih yang terakhir dan dengan ini-menurutpengertian orang Aceh  mereka telah berbuat lebih banyak kebaikan daripada seorang yang berbuat kejahatan selama hidupnya.

            Demikianlah Teungku Mat Amin merupakan seorang yang lebih utama dari semua anak-anak teungku Syéh Saman dan dia pula yang telah memegang pimpinan dalam mempertahankan pertahanan aneuk Galóng sewaktu benteng tersebut – yang ketika itu oleh Belanda di namakan Anak Galong di tinggalkan oleh Teuku Umar berbalik ke pihak Aceh pada tahun 1896  Yang kemudian di duduki dan diperkuat oleh lawan. Tentu saja benteng ini dimenangkan kembali oleh pasukan kita. Pada waktu itu kita mengalami masa-masa gila karena ada hal-hal yang hari ini haus kita pertahankan dengan gigih, sedang kemarinnya telah kita serahkan kepada lawan secara begitu saja.

            Teungku Mat Amin berada di dalam benteng bersama-sama abangnya bernama Teungku di Bukét yang dengan beberapa ratus orang telah bertempur secara habis-habisan. Untuk korps marsosé yang baru di bentuk pada tahun 1896 (‘) peristiwa itu merupakan salah satu pertempuran yang gilang gemilang sekali; di bawah pimpinan Graafland pagi-pagi buta benteng itu boleh di katakan dapat di kepung seluruhnya, sehingga perebutannya   dalam arti kata kiasan  “terjadi dengan punggung ke dinding” orang orang Aceh bertempur seperti singa; diantaranya ada yang lebih suka di kubur hidup-hidup di dalam api yang menyala-nyala daripada harus menyerah kalah. Sebuah “hand-to-hand-fighting” yang pahit sekali; tidak seorangpun ingin memberikan atau meminta tempoh, kendatipun seperempat jam.

            Kapten (kemudian jendral) Van Daalen turut mempersaksikan pertempuran itu selaku kepala staf   dan tentang ini dia menulis secara ringkas dan sederhana, menurut caranya sendiri, di dalam surat bertanggal 5 Juli 1896 yang di tunjukan kepada isterinya di jawa ; bagiannya saya kutip di bawah ini:

“ Kini cerita tentang perjalananku yang terakhir, yakni sukses besar di Anakgalóng. Tepat jam 12 Tengah malam tanggal 28 (‘) kami berangkat ke lambaru dengan dua Batalyon dan anggota-anggota marsosé di bawah pimpinan obos Van Heutsz dan aku sebagai kepala staf. Sesudah minum kopi secangkir di tempat obos Bisschof di lambaru, maka pada jam setengah tiga pagi kami meneruskan perjalanan ke AnakGalong. Waktu itu terang bulan dan menurut khabar benteng itu di pertahankan oleh nlk. 200 orang. Di tengah jalan kami menemukan dua buah jembatan yang telah di rusakkan lawan. Kami memperoleh kesukaran karenanya. Pendeknya pada jam setengah lima pagi barulah kami dpat maju dan jam lima pagi kurang seperempat meletuslah tembakan pertama dan mulailah terjadi perkelahian seorang lawan seorang di dalam banteng dan pada jam lima selesailah semuanya itu. Sungguh suatu saat yang menarik sekali, pertempuran itu; semuanya dalam keadaan gelap dan yang terdengar tak lain hanyalah suara letusan tembakan dan teriakan lawan.


 

            (‘) penulis ini keliru menyebutkan tahun pembentukan korps marsôsé Aceh; seharusnya 1890 tanggal 2 April.
                (‘) perebutan kubu aneukgalong yang di ceritakan itu terjadi pada 28/29 Juni 1896.




Pihak Aceh meninggalkan 110 mayat ke tangan kita disamping dua orang anak-anak yang memperoleh luka-luka ringan  dan masih hidup, berumer 5 dan 6 tahun.”(‘)

            Di antara kornan-korban yang bjatuh dalam pertempuran itu terdapoat Teungku Mat Amin di Tiro. Manyatnya dilarikan oleh teman-temannya kekampung Mureue, tidak jauh dari Indrapuri; di sana di kuburkan dekat orang tuanya dalam sebuah “kandang” untuk seseorang yang syahid dalam peperangan suci tidak perlu di mandikan mayatnya secara biasa dan dilakukan upacara-upacara lain.

            Kini tinggal hanya tiga orang putera Teungku Syéh Saman dan beberapa orang cucunya. Ketiga orang itu ialah Teungku di Bukét, Teungku Mayét , dan Teungku Lambada yang di sebut terakhir tewas kena peluru Darlang dekat Alue Keuné. Sewaktu ayahnya tewas cucunya itu masih bayi yang kemudian bernama Teungku Chik Ma’at.

            Selebihnya itu yang termasuk keluarga dsan saudara dekat ulama-ulama Tiro adalah pemimpin-pemimpin terkenal: Teungku Teupin Wan yang sangat keramat itu, Teungku Hasyém, Teungku Geudông(putra Teuku Umar), Teungku Reyèk Nanta, abang Cut Nyak Dien, janda terkenal Teuku Umar , Teungku di Tanoh Mirah, ayah mertua almarhum teungku Mat Amin di Tiro, Teungku Klibeut, Ipar Teungku Chik Mayet, Teungku di Cot Cicem, Pemimpin pasukan para Ulama Tiro (di dalam pasukannya yang terlatih baik itu terdapat seorang peniup sangkakala Belanda yang menyebrang ke pihak lawan), Teungku di Reubéé, Teungku Alue Ketapang dan banyak lagi yang kesemuanya merupakan kelompok  besar pemuka-pemuka terkenal dan berpengaruh yang bertahun-tahun lamanya menjadi jiwa perlawanan.

            Adalah suatu hal yang sangat aneh jika diantara mereka itu ada yang hidup-hidup jatuh ke tangan kita; pada umumnya mereka lebih menyukai mati daripada mereka menyerah kalah dan semua mereka itu gugur sebagai syuhada.

            Sesudah jatuh kubu aneuk galong, masih berjalan beberapa tahun lagi sebelum pasukan kita dapat memusatkan perhatiannya dalam perang gerilya mula-mula Van Heutsz mempunyai tugas lain. Ia mulai dengan pembersihan di dalam daerah Aceh Besar. Kemudian Jendral itu melakukan perjalanan-perjalanan besar dengan kolonelnya yang terdiri dari beribu-ribu anggota kedaerah-daerah Pantai Utara dan Timur Aceh yang berhasil melumpuhkan sejumlah besar pusat-pusat perlawanan, tahu 1898 ia mengadakan perjalana ke Pidie, kemudian ke Tangsé, Tahun 1898 dan 1899 ke peusangan dan Pase, kemudian melalui daerah pantai dari Iampang Ulim sampai ke Idi; Tahun 1901 ia kembali lagi ke Meureudu dan Samalanga; pada hari ulang tahunnya ia  berhasil merebut Batèè Iliek yang terkenal itu (‘); tahun 1904 tanah gayo mendapat gilirannya.Dengan pasukan-pasukannya ia menjelajah jauh ke dalam daerah



 


            (‘)  Van Daelen agaknya lupa menceritakan-mungkin untuk tidak mencemaskan isterinya- bahwa di pihak belanda terdapat kerugian: 6 orang tewas dan 33 orang luka-luka diantaranya 4 orang perwira, yaitu kapten Graafland, Letnan Dijkstra dll (yang di sebut terakhir kemudian  menjabat kepala tertinggi ketentaraan Hindia Belanda).
                (‘)            J.B. van Heutsz lahir tanggal 3 februari 1851 di coeverdon, perebutan kubu  Batèe Iliek terjadi pada hari ualng tahunnya yang ke 50.
Perlawanan di bawah “capitaines”nya yang besar-basar itu pasukan-pasukan Belanda merupakan “anak-anak gembira kemenangan” yang dengan penuh kepercayaan pada diri sendiri mengharungi hutan-hutan balantara dan gunung-gunung.

            Begitulah ia mulai membelah bumi dalam bentuk kelompok-kelompok besar; kemudian barulah ia bekerja dengan pekerjan-pekerjaan halus, yakni menghancurkan gumpalan-gumpalan tanah hingga gembur untuk akhirnya dapat di jalankan garu ke atasnya sebelum bibit perdamaian dapat di semaikan.

            Kira-kira tahun 1903 dan 1904 terjadilah peperangan kecil, yakni pekerjaan-pekerjaan patroli dan sejak itu pasukan-pasukan kita memusatkan perhatiannya kepada pimpinan-pimpinan lawan terkenal , seperti para ulama Tiro serta para pengikut-pengikut mereka yang berada di daerah yang jauh-jauh.

            Patroli-patroli kita melakukan pengejaran di mana-mana pada setiap kontak dan gugurlah sebagian dari pihak lawan, kadang-kadang pula pemimpin mereka sendiri. Pada masa-masa permulaan, pada setiap kali gugur seorang pemimpin lawan, maka segera pula ia di gantikan oleh yang lain. Sewaktu Teungku di Cot Cicem, pemimpin pasukan Tiro, kena tembak dalam suatu penyergapan yang mengagumkan oleh marsosè di bawah pimpinan seorang sersan bernama Gótz(‘) ia telah di gantikan oleh Teungku Léman sebagai pemimpinnya. Ia telah belajar serba sedikit mengenai taktik kompeuni pengawalnya mendapat latihan militer sejati dan terkenal sebagai “marsosé Aceh” tetapi malang baginya. Ia tertumbuk dengan sebuah patroli di bawah pimpinan letnan kecil bernama Jarnae dan pada waktu itu juga gugurlah Teungku Leman sebagai seorang syahid(“).

            Lama-kelamaan timbul pula kesukaran dalam mencarikan pengganti-pengganti mereka yang tewas itu; keadaannya menjadi semakin tidak sehat. Akan tetapi siapa saja dari pemimpin pasukan Ulama-ulama Tiro itu gugur, namun mereka itu sukar sekali untuk di ketahui jejaknya. Di mata rakyat mereka itu merupakan orang-orang keramat, sehingga tidak ada orang yang berkhianat , untuk menunjukkan tempat-tampat persembunyian mereka walau betapapun rakusnya orang-orang Aceh akan uang. Apapun yang di lakukan oleh komandan-komandan patroli kita, betapapun rajin mereka membuntuti jejak-jejak mereka namun pihak kita juga akan berhasil memperoleh keterangannya. Demikian mayshur kealiman Teungku Syéh Saman Tiro di mata rakyat.

            Akan tetapi tahun 1908 datanglah hari-hari naas bagi mereka. Gubernur Swart memberikan perintah kepada letnan Schmidt yang baru saja menyelesaikan sebuah karya gemilang di Geumpang mencari dan dapat mungkin membasmi para ulama Tiro serta pengikut-pengikut mereka. Pilihan ini tepat sekali tak ada orang yang begitu mengetahui bahasa dari adat Aceh seperti Schmidt, sehingga timbul suatu kepercayaan ghaib terhadap dirinya, bahwa ia mempunyai “éleumée” (=ilmu gaib) dan ini bahkan telah menanam pengaruh yang lebih  besar pada rakyat di bandingkan dengan pemimpin-pemimpin kita  yang lain.


 


            (‘) Teungku di Cot Cicem Gugur pada 29 Maret 1906.
                (“) Teungku Léman gugur pada 15 April 1908 dekat Glé Kareung Réuboh sebelah Utara Keumala Dalam.               

            Sebelum ia mengemudikan Alat penghancurnya, Swart telah mencoba menundukkan para Teungku di Tiro dengan jalan menyuruh tiga orang pemuka rakyat Aceh untuk mengirimkan surat kepada mereka yang memuat nasehat-nasehat supaya mereka menghentikan perlawanan, Ketiga orang pemuka itu ialah: Tuanku Mahmud, anggota keluarga Sulthan yanng dulu(‘), panglima Polém, Kepala XXII mukim yang sangat berpengaruh dan Iparnya Tuanku Raja Keumala, juga keluarga sulthan. Surat itu di tulis serta di bubuhi cap dengan sempurna yang di antarkan ke tempat persembunyian mereka di dalam hutan dengan perantaraan seorang Aceh terkemuka yang mendapat kepercayaan para pihak ulama Tiro.
Surat tersebut yang berbunyi sebagai berikut:

Bismillahirrahmanirrahīm wabihi nasta’in.

Alhamdulillahi’azza sya’nahu wasshalatu wassalamu ‘ala rasulihi wa umminatihi. Ammaba’du fassalamu/’alaikum warahmatullahi ta;ala wabarakatuh ‘aladdawami serta di iringi pula dengan beribu ‘azam muhibah dengan takrim yang/tiada keputusan selama-lamanya daripada kami seripaduka  TUANKU MAHMUD dan TUANKU RAJA KEUMALA dan/ serimuda perkasa TEUKU PANGLIMA POLẼM yang adalah sekarang di Kuta Raja Aceh Besar adanya barang di sampaikan/Allah s.w.t. kehadapan majlis hadiratul ‘azizulmukarram penghulu kamib HABIB ‘ABDURRAHMAN TEUPIN WAN/ dan guru kami  TEUNGKU MAHYIDDIN dan TEUNGKU DI BUKЀT  ibnalmukarram maulana almudabbar almalik TEUNGKU DI TIRO DAN/TEUNGKU HASYЀM dan TEUNGKU DI ULЀE TUTUE dan TEUMGKU IBRAHIM dan sekalian ikutannya yang ada ahyatul/khairi di dalam mengerjalkan perang sabilillah di dalam rimba belantara negeri Pidie dengan selamat sejahtera/Mata ‘anallah ta’ala bilqa-ihim, amin.

            Syahdan adalah kami ketiganya mengharapkan dengan sehabi-habis harap kepada Allah warrasul, di belakang  itu kami/ harap dengan sehabis-habis harap dengan penghulu kami dan akan syaikhuna kami, maka sebab berani harap tawakal/ kami beserta dengan yaqin tambahan lagi tulus ikhlas semata-mata kepada guru kami ketiganya oleh karena berkenang/kami akan maulana wasyaikhuna mudabbar almalik yang telah kukubur menghadap kerahmatullahi ta’ala itulah jadinya tiada berkeputusan/ingatan kami akan penghulu kami dan akan guru-guru kami adalah kami bangkit dari negeri Aceh qasadnya memayat fardu islam pergi ke tanah Mekah almukarramah/hatta dengan berkat do’a-do’a alhamdulillah sudahlah Allah s.w.t. persempurnakan empat kali haji kami ada/tinggal di tanah Mekah beserta di dalam itupun adalah kami ijtihad serta memendang dengan mata kepala sendiri atas tiap-tiap/bangsa islam di zaman ini terlampaulah amat sangat musyaqad kebesarannya masing-masing terlebih maklum penghulu/kami serta guru-guru kami sebab dunia ini akhir zaman bukan seperti dahulu kalanya. Maka adapun seperti kita-kita semuanya berperang dahulu dengan kompeni Belanda maka

           
(‘)            Tuanku mahmud (bangta keuchik) adalah adik Tuanku Hasyim Bangtamuda dan Suami Pocut Meurah, Janda Sulthan Mahmuid Syah.
                (“)           Di salin dari aslinya, bukan dari terjemahan ke masa Belanda.


jikalau sudah habis ikhtiar tiada kuasa lagi melawan dia patutlah/taslim kepadanya oleh karena dianya tiada mengubah dan melarang kita punya agama melainkan kita juga masing-masing yang/mengubahnya. Cobalah penghulu kami serta guru-guru kami pikirkan yang halus tambahkan lagi pasal kita taslim/kepada musuh apabila tiada kuasa melawan dia bukanlah sekali-kali  kita yang memulakan isti’adah itu melainkan/ telah berlaku di atas angin yang terlalu amat banyak seperti negeri Hindi semuanya taslim di bawah perintah kompeni/ inggris seperti tanah Magribi semua taslim di bawah perintah Fransis dan seperti tanah Mesir bersyarikat/perintahnya dengan Inggeris dan lain-lainnya terlalu amat di atas angin daripada jenis orang islam/mentaslim di bawah perintah musuhnya dan habis kesemuanya sebelah bawah angin taslimnya. Maka adapun yang  berpikiran mereka itu berpakat semuanya atas taslim ketika lemah mereka itu sebab takut mereka itu habis kerusakan agamaanya /serta negerinya. Maka apabila sudah mereka itu taslim jadi mereka itu masing-masing memeliharakan agamanya bafrang sekuasanya sekedar mumkin supaya tiada hilang semuanya. Demikianlah mereka itu yang telah lahir pada pandangan kami maka sekarang habib/yang penghulu kami dan guru-guru kami pada zaman sekarang terlebih baik guru kami dan penghulu kami janganlah duduk/ di rimba lagi dengan permintaan kami baik habib turun serta guru-guru kami kemari beserta semuanya mengikut seperti yang telah di jalankan oleh orang atas angin yang terlebih kuasanya dan akal dari pada kita beserta jangan sekali-kali/ketinggalan barang yang ada alat senjata supaya jangan menjadi fitnah hari kemudian. Maka yang akan hal dengan kompeni adalah/Allah dan Rasul dan adalah kami ketiga pertemukan pemghulu kami  dan guru-guru kami dengan paduka seri yang di pertuan/besar Aceh adanya. Maka sehabis-habis harap kami sebagaimana pikiran dan timbangan dari pada penghulu kami serta/guru kami lazim memberi jawab surat ini dengan segeranya. Wassalamuttamu nas alu’llah hasanu ‘ikhatam.
                        Tertulis KutaRaja kampung Keudah pada 18 Rajab 1327’(‘)

            Surat tersebut memang telah di terima oleh Teungku Chik Mayet. Bahkan diketahui pula, bahwa nasihat orang pemuka rakyat yang sudah berdamai itu sudah di bicarakannya dengan pejuang-pejuang Tiro lainnya.namun tidak seorangpun dari mereka itu yang bersedia menghentikan perlawanan. Mereka telah bertekad bulat melawan terus sampai kepada akhir hayat dan rela pula menerima takdir Allah terhadap mereka.

            Dengan ini nasib merekapun menjadi satu kepastian. Tanggal 28 Februari 1910 Schmidt selesai dengan persiapannya. Perintah serta ketentuan kekuatan yang di berikan kepadanya berbunyi sebagai berikut:

 



(‘)            Menurut terjemahan ke bahasa Belanda keliru di salin “1325” pada ruang sebelah kanan surat itu tercantum berturut-turut dari atas ke bawah cap-cap serta tanda tangan TUANKU MAHMUD, TUANKU RAJA KEUMALA, dan TEUNGKU PANGLIMA POLEM.




“Mencari dan menundukkan atau membasmi anasir-anasir di dalam daerah Tangsé dengan nama:
1.      Para Teungku di Tiro: Teungku Chik Mayet dan Teungku di Buket (putra-putri almarhum Teungku Chik Tiro) serta pengikut-pengikut mereka.
2.      Teungku  Dagang Blang Jeurat alias Teungku di Tangsé, seorang pemuka yang bermusuhan di daerah kawai XXII yang termasuk kedalam daerah Tangse dengan pengikut-pengikutnya, diantaranya Pang Cut Ben dan Keuchik Ben Man
3.      Petua Gam Masén, seorang pemimpin pasukan kecil yang sangat berpengaruh, berasal dari kampung Masén (di Pantai Barat) dan oleh orang-orang Aceh dikenal sebagai guru ilmu kebal dab “pawang” harimau.

Kekuatan:
1 orang letnan satu, 2 orangersan eropah, 1 orang sersan Ambon dan 1 orang sersan bumiputra, 1 orang kopral Ambon dan 1 orang dan 1 orang kopral bumi putera, 17 orang marsosѐ Ambon  dan 17 orang marsosѐ bumi putra, 1 orang juru rawat Eropah, 1 orang mandor dan 24 orang rantai.”
           
            Schmidt mengambil waktu yang cukup untuk mengatur persiapan-persiapan pembersihan besar ini. Pelaksanaannya di lakukannya secara teratur sekali, segera ia mengetahui bahwa dari rakyat  tidak akan mungkin diperoleh suatu berita tentang tempat persembunyian para pejuang Tiro itu. Walaupun setiap orang yang di Tangsé dan sekitarnya mengutahui hal ini, namun mereka tetap berdiam diri seperti diamnya kuburan dan semua ini adalah berkat pengaruh keulamaan dan politik keluarga Tiro. Oleh karena itu ia terpaksa mencari  keterangan-keterangannya secara tidak langsung dan ini memperlihatkan tanda-tanda kemungkinannya.

            Pada masa itu ada seorang perwira yang menulis di dalam buku hariannya, bahwa usaha mencari seseorang pemimpin menentang suatu daerah pedalaman yang tandus tanpa mengenal keadaannya adalah serupa halnya dengan usaha mencari sebilah jarum dalam gunung jerami. Akan tetapi tentang ini Gubernur membubuhi catatannya “ dengan pengecualian bahwa satu-satunya jarum ini yang menghendaki makan.

            Memang benar! Orang-orang yang berada dalam hutanpun perlu makan. Sedikit-dikitnya mereka itu sekali-sekali memerlukan nasi dengan garam serta lauk-pauk lainnya yang tak dapat dihasilkan dalam hutan. Karenanya pada waktu-waktu tertentu tentulah mereka itu pergi mencari makanan di kampung-kampung penduduk yang tidak bermusuhan dengan mereka . Oleh karena itu schmidt  mendasarkan usahanya itu pada jalan-jalan yang pernah di lalui pencari-pencari perbekalan para pejuang Tiro. Tentu saja mereka ini sangat merahasiakan jejak mereka; tampaknya bahwa jauh lebih mudah untuk mengetahui kemana mereka itu hendak  pergi daripada tempat persembunyian para ulama itu. Di samping ini selalu saja ada penduduk yang akan menuntut bela salah seorang saudaranya yang telah di binuh atau di rampok. Akhirnya Schmidt mengumumkan hadiah f 1000,- kepada siapa saja yang dapat memberikan keterangan tentang persembunyian lawan, Tawaran ini ternyata tidak pernah memberikan hasilnya. Benar bahwa lambat laun ia memperoleh banyak keterangan mengenai arah letaknya tempat persembunyian itu, akan tetapi  keterangan pasti tidak di ketahuinya.

            Tanggal 23 April 1910 berangkatlah pasukan Schmidt dari Tangse dengan dua Brigade dan perbekalan selama 8 hari, diantaranya 4 hari tersedia masing-masing anggota. Tiap-tiap mata rantai dengan sendirinya harus memikul beban yang tidak sedikit. Untuk penunjuk jalan di bawa seorang Aceh yang di tangkap beberapa hari yang lalu. Pada hari pertama pasukan Schmidt  harus memanjat tanah penggunungan di Hulu Ulѐѐ labu , Kemudian menuruni sebuh lereng gunung yang sangat berbahaya. Hari sudah pukul jam enam sore. Pasukan tidak dapat maju ke muka ataupun mundur ke belakang menembusi air terjun ataupun jurang-jurang, sehinggga semuanya terpaksa tidur di malam yang dingin sekali di atas batu-batu, bahkan memasak atau menghidupkan apipun tidak mungkin dapat dilakukan karena ketiadaan kayu api, ke esokan harinya di perlukan tiga jam pula untuk mendaki lereng gunung dan perjalanan di teruskan selama 5 hari lagi, kadang-kadang dengan menebang kayu di hutan belantara untuk di jadikan jalan dalam penemuan tempat persembunyian peutua Gam Masen , pawang Harimau yang di ketahui oleh penunjuk jalan.

            Tanggal 1 Mei habislah semua perbekalan, namun semua mereka itu telah berkeras hati untuk melakukan perjalanan guna memperoleh kepastian apakah penunjuk jalan telah sesat jalan ataupun bahwa ia memang bermaksud menipu pasukan. Beras terakhir di bagikan masing-masing 5 ons dan kepada semua anggota pasukan di beritahukan bahwa dengan ini mereka barangkali harus bertahan sampai beberapa hari lagi.

            Tanggal 2 Mei sewaktu melintasi tepi Krueng Sikuleh tiba-tiba penunjuk jalan berteriak: ia telah mengenal kembali jalan menuju ladang peutua Gam Masen. Seolah-olah semua harapan yang telah hilang itu kini timbul kembali, karena di jalan yang di lalui pasukan terlihat jejak yang masih baru. Dengan segera pasukan menyebrangi sebuah alur yang sangat dalam dengan meniti tali-tali rotan  dan dengan hati-hati sekali mereka mendekati ladang yang tak berapa jauh letaknya lagi.

            Dipinggir hutan tampak di ladang seorang laki-laki dan dua orang wanita sedang mencari ketela; orang-orang Aceh selalu menanamnya untuk persediaan kelak.

            Pasukan menahan diri dengan tidak bergerak-gerak ; enam terpilih di bawah pimpinan Sersan Van Dongelen di perintahkan berangkat untuk mengepung ladang melalui hutan.  Walaupun jaraknya dekat sekali, namun kepada mereka itu di beri tempoh satu setengah jam hampir selalu mereka itu harus meniarap di tanah tanpa memperdengar suara sedikitpun karena  bunyi derak sebatang dahan kayu yang patahpun dapat membuat orang-orang di ladang bersikap waspada.

            Sesudah satu jam setengah  jelaslah seluruh persoalannya, Tiba-tiba melompatlah marsose-marsose itu ke muka dan berteriak supaya lawan menyerah, Laki-laki itu seoarang yangt berbadan tegap dan berjanggut hitam, tidak membuang waktu sedikitpun. Dengan rencong di tangannya langsung menyerbu kedua marsose di mukanya. Beberapa tembakan di lepaskan dan sekiranya salah seorang marsose lain tidak maju ke muka dengan mempergunakan kelewangnya, mungkin sekali laki-laki itu dapat melepaskan dirinya kendatipun ia memperoleh luka-luka parah. Salah seorang wanita dapat di tangap yang seorang lagi dapat melarikan dirinya. Ini adalah isteri laki-laki yang telah tewas itu yang dapat di tangkap adalah anaknya yang kemudian di kembalikan kepada ibunya lagi.

            Laki-laki yang telah tewas itu di kenal dengan Peutua Gam Masen dan dengan ini tamatlah riwayat “ pawang harimau” itu.

                                                                                                                                                                                                *****



TEUNGKU DI BUKET

            Usaha melumpuhkan keluarga Tiro dengan pengikut-pengikut mereka berjalan sangat teratur laksana bahagian alat sebuah jentera yang pada waktu-waktu Tertentu melakukan pekerjaannya yang sudah di rencanakan.

            Di Tangsé tetap tidak mungkin di peroleh keterangan-keterangan mengenai tempat persembunyian mereka itu secara langsung, akan tetapi dari penyelidikan-penyelidikan yang teliti sekali tentang orang-orang suruhan keluarga Tiro dapatlah di ketahui, bahwa:
1.      Sesudah pada permulaannya mengadakan perjalanan kesana kemari dengan maksud untuk menyesatkan orang-orang yang akan menjejaki mereka menuju ke “pucok” (=hulu) Krueng Balѐ.

2.      dari Tangsé ke tempat persembunyian itu orang harus melalui sebuah ladang, di sana lawan membuat beberapa buah pos mengintai sehingga tidak mungkin untuk di lalui tanpa di ketahui mereka;

3.      Juga dari Tangsé ke tempat persembunyian itu harus di lalui sebuah ladang pos-pos pengintai yang di duga tidak jauh letaknya dari hulu Alue Seumi;

4.      di atas bukit-bukit arah ke Pidie juga terdapat pos-pos demikian;

5.      juga Teungku di Buket berada di tempat persembunyian itu;

6.      baik dari Pidie maupun dari Tangse ada di lakukan usaha pencarian perbekalan, jika mereka mengetahui, bahwa komandan kolonel marsose berada di Tangse maka tentulah mereka akan menjauhkan diri dari tempat tersebut dan mengirimkan orang-orang suruhannya ke dataran Pidie.

Walaupun bahan-bahan di atas merupakan keterangan-keterangan yang tidak langsung, namun semua itu hal yang amat penting bagi seorang komandan yang sudah berpengalaman. Ia menempatkan putera-putera yang lain di hadapannya lalu menggariskan garis-garis khayal padanya dan berkata: di sana takkan ada karena tidak ada “pintu belakang” yang abik, jika tidak ada kesempatan untuk melarikan diri jika ada penyergapan. Dan sebagai seorang komandan yang banyak pengalaman, pada akhirnya dapatlah ia mengambil suatu kesimpulan.

            Maka berpikirlah Schmidt :” jika saya menyuruh perbuat sebuah jalan kecil di dalam hutan jauh ke pedalaman di bahagian selatan gunung Meureuseu dan Gunong Alimon, Maka tindakan ini tentulah merupakan pemotongan jalan kecil yang selalu di lalui lawan ketika mencari perbekalan. Apakah ini datangnya dari Pidie, Tangse atau Geumpang, nun, tidak jauh dari tempat persembunyian, pastilah jalan-jalan itu akan bertemu di suatu titk.

            Setiap perjalanan dari Tangse ke tempat persembunyian pasti akan gagal karena lawan mempunyai banyak mata-matanya di dalam kampung yang dengan segera dapat memberitahukan lawan melalui jalan-jalan pendek di dalam hutan mengenai setiap gerakan pasukan kita. Karenanya mula-mula Schmidt  bermaksud menjalani suatu arah lain dan akan menuruti jalan itu sampai ia benar-benar memperoleh keyakinan, bahwa ia akan terlepas dari setiap kontak dengan penduduk di situ. Kemudian pasukan mulai menebang hutan, Mendaki gunung dan menuruni jurang-jurang untuk sampai ke tempat yang vdi tuju dengan selamat.

            Demikianlah pada tanggal 16 Mei pasukan berangkat dengan dua buah brigade, mula-mula melalui Krueng Tangse, Kemudian mengikuti Alue  Do-do ke bahagian hulunya, lalu ke Utara ke Alue Seukeeu . Dan mendirikan bivak. Tanggal 17 Mei , Sebelum pagi hari, pasukan menempuh Blang Malo dan mengikuti alue Seupot . Malam harinya pasukan mendirikan bicak.

            Kini mereka tidak perlu lama-lama lagi menyembunyikan arah yang semestinya. Maka mulailah mereka menuju ke arah yang sebenarnya. Tanggal 18 dan 19 Mei mereka menuju ke Pucόk Alue seupot melalui punggung-punggung gunung di bahagian Timur dan pada malam harinya sampailah mereka di tempat yang di tujui.

            Tanggal 20 Mei pasukan menebang kayu-kayu melalui kaki-kaki gunung tinggi menurut rencana yang di perbuat semula dan petang harinya kira-kira jam 3 barisan muka menemukan sebuah jalan tikus yang tampaknya selalu di lalui orang. Semuanya memperoleh semangat baru kembali dan pada malam harinya pasukan tentu saja tidak bermalam di jalan itu tetapi pada jarak yang agak jauh dari situ. Mereka mengharapkan bahwa ada seseorang terlambat yang akan melewati tempat itu...

            Tanggal 21 Mei pasukan meneruskan perjalanan seraya memperhatikan jalan-jalan yang di lalui jejak-jejak kaki selalu hilang karena di hilangkan oleh orang-orangnya. Akan tetapi  pencari-pencari  jejak kita selalu pula menemukannya lagi. Tak lama kemudian seorang anggota pasukan yang berjalan di muka mengacungkan kelewangnya di dalam hutan yang kini sudah kurang lebat di tumbuhi kayu-kayunya ia melihat sebuah ladang yang jelas  sekali dan kini sudah di ketahuilah bahwa pasukan berada di tempat yang sebenarnya. Inilah ladang dengan pos-pos pengintai lawan dan sekali-sekali terdengar suara mereka maut tengah mengintai.

            Brigade mendekati ladang itu tanpa di ketahui siapapun dan menemukan lagi jalan kecil tadi. Kini hampir tidak ada kesukaran apa-apa lagi karena tak ada seorang Aceh pun yang menyembunyikan jejak-jejak mereka, begitulah mereka itu merasa yakin, seolah-olah pos-pos pengintai mereka dapat menampung segala sesuatu yang ingin menembusi hutan belantara.

            Pada sebuah tempat yang baik Schmidt menghentikan pasukannya sebentar. Ia mengumpulkan anak buahnya dalam sebuah lingkaran kecil dan membisikkan kepada mereka, bahwa mereka kini sedang menuju ke tempat peresembunyian pemimpin perlawanan di Pidie dan supaya semua mereka itu berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan. Setiap serdadu yang berpengalaman sudah mengetahui, bahwa  orang-Orang di Pidie lebih suka melawan sampai mati dari pada menyerah kalah. Di pantai barat Aceh kadang-kadang masih juga mereka itu dapat di jadikan tawanan, Tetapi di Pidie hal ini boleh di katakan tidak akan mungkin sama sekali. Oleh karena itu Schmidt memerintahkan anak buahnya supaya mereka tidak lagi berrjalan dalam satu barisan, tetapi berkelompok-kelompok sebanyak tiga orang. Selain itu ditandaskan juga supaya mereka itu jangan menembak wanita-wanita dan anak-anak yang bukan tidak mungkin di temui juga di tempat persembunyian.

            Demikianlah di mulai bagian terakhir dari perjalanan itu; dengan sangat hati-hati,pasukan maju dan tiba-tiba kepalanya memergoki orang-orang suruhan pihak lawan yang tengah beristirahat pada sebuah lereng bukit yang sangat curam. Mereka itu berjumlah enam orang dengan bersenjata kelewang serta serat masing-masingnya memiliki sejempit beras.

Pada waktu itu adalah saat-saat penting bagi kedua belah pihak. Pihak lawan menjadi sangat terkejut ketika dari semak-semak tiba-tiba menyembul sosok tubuh serdadu di hadapan mereka, sehingga, ketika pasukan mulai menyerang, Mereka itu tidak teringat lagi hendak melawan dan tanpa berpikir panjang setelah terjun kedalam jurang yang sangat dalam . Komandan pasukan tidak dapat lagi lebih lama melihat keadaan itu; Satu-satunya kesempatan baginya ialah menuju ke persembunyian sebelum orang-orang  suruhan lawan sampai ke sana. Ternyata, bahwa ia mendahului mereka itu dengan cepat melalui jalan kecil, Sementara orang-orang suruhan lawan – sekiranya mereka tidak memperoleh suatu kecelakaan di dalam jurang yang dalam itu harus mengarungi medan lumpur dengan bersusah payah. Nanti akan ternyata siapa yang akan memenangkan perlombaan itu !

Di dalam perjalanan yang cepat itu pasukan masih dapat melihat dengan jelas bakas-bakas pemotongan dahan-dahan serta daun-daun kayu yang di pergunakan untuk mengatapi pondok-pondok. Jadi tempat persembinyian yang sedang di carikan itu pastilah berada tak jauh dari tempat itu.

Sebagai babak terakhir komandan memerintahkan supaya semua anak buahnya melepaskan ranselnya sehingga pasukan dengan mudah dan tanpa membuat sesuatu keributan dapat bergerak maju, Kemudia setapak demi setapak barisan mengarungi sebuah batang air.

            Tiba-tiba barisan muka memergoki empat orang Aceh yang sedang mencari kayu. Tak ada pilihan lain selain melakukan penyergapan terhadap mereka itu dan kemudian menyerbu ketempat persembunyian yang dengan sendirinya sudah ketahuan di sebabkan bunyi letusan senapan. Semua itu harus di lakukan dengan semangat yang bernyala-nyala dan inipun telah terjadi.


            Barisan muka menyerbu ke tempat mereka itu; Dua diantaranya dapat di temnbak, yang lainnya menghilang ke dalam semak-semak           pasukan terus melakukan penyerbuan dan seperti telah di duga semula, lawan telah berada dalam keadaan Siap siaga. Peluru lawan telah berdesing ke arah lawan seraya menyembunyikan isyarat “serbu” oleh peniup sangkakala yang di dilakukannya dengan penuh keyakinan, maka setiap anggota marsose menyerbu lawan di sertai teriakan yang riuh-rendah. Sesudah terjadi tembak-menembak pada permulaan pertempuran, maka giliran berikutnya tibalah pada peranan kelewang yang dapat berbicara lebih dahsyat lagi, Sehingga dalam waktu setengah jam saja semua pekerjaan dapat di selesaikan. Sungguh suatu pekerjaan yang sigap sekali di dalam tempoh yang singkat pula !

            Di tempat persembunyian dan semak-semak terbaring sebelas lawan manyat dan di samping senapang-senapang mereka yang agak modern dan kuno serta senjata-senjata tajam terdapat enam buah cap, sebuah di antaranya dikenal sebagai milik Teungku di Bukét, namun di antara mayat-mayat itu ia sendiri tidak di temukan, Begitu juga dengan abangnya Teungku Mayѐt di Tiro.

            Walaupun begitu orang tidak perlu merasa kecewa karena diantara mereka yang telah tewas termasuk pengikut-pengikut utama para Teungku di Tiro yak ni: Teugku Chik Harun, Teungku Muda Syam, Teungku Sjék Samin dan Habib Cut , putra Habib Teupin wan yang terkenal keramat itu, Seorang tokoh yang sejak permulaan peperangan merupakan lawan Kompeuni yang sangat aktif.

            Sebuah pasukan, terdiri dari anggota-anggota marsosé yang campin di bawah pimpinan yang baik tidak akan merasa puas untuk melakukan setengah pekerjaan. Oleh karenanya mereka itu segera meneruskan pengejaran terhadap anggota-anggota penentang yang berhasil meloloskan diri ke dalam hutan tanpa menunggu waktu hilangnya jejak-jajak mereka. Sejam setengah setalah selesai penyergapan tadi, maka segera pula pasukan melakukan pengejaran. Di sana sini mereka menemukan bekas-bekas darah yang di tinggalkan lawan yang luka-luka. Bekas-bekas itu di ikuti terus dan sesudah sekian jauhmenempuh perjalanan, maka pada malam harinya pasukan mendirikan bivak untuk memperoleh istirahat yang sangat di perelukan, Baik oleh pasukan maupun oleh pihak lawan.

            Tanggal 22 Mei, Pagi-pagi sekali, Pasukan meneruskan lagi perjalanan dengan penuh semangat, Jam 11 siang kepala barisan muka, Sersan Molier (seorang “bas” yang campin sekali),  berhasil membawa ke dalam bivak sebagian dari lawan yang telah melarikan diri itu. Tiga orang kena tembak; ketika pasukan Marsosé melihat di bawah mereka di dalam sebuah jurang seorang anak sedang memegang sepucuk karben repeetir, Maka empat orang di antara mereka itu di bawah pimpinan Sersan Van Dongelen, menjatuhkan diri ke bawah dari sebuah dinding gunung yang curam. Mereka telah menangkap anak itu dan mengambil karaben dari tangannya. Lereng gunung itu demikian rupa curamnya, sehingga tak ada seorangpun  yang berani mengambil topi-topi bambu mereka yang tertinggal di atasnya lagi sesudah mereda ketegangan pertempuran itu.

            Kini timbul suatu masa yang tragis sekali dalam perjalanan ini; anak yang dapat di tangkap itu yang berumur kira-kira enam tahun adalah putra bungsu Teungku Mayét , Ulama terakhir kelompok para ulama di Tiro. Anak itu berkata dengan segala kejujurannya dan di dalam cerita itu banyak yang terdapat hal-hal yang bernilai bagi pasukan. Ia tidak mengerti, Bahwa dengan cerita-cerita itu ia telah mambawa ayahnya lebih dekat kepada maut dan ia pun telah memastikan nasib “ Paman Béb” nya yaitu Teungku di Bukét.

            Dalam penyerbuan tanggal 21 Mei 1910 telah jatuh ketangan pasukan sebelas Mayat lawan, Di samping ini terdapat yang kedua belas, yakni Teungku di Bukét sendiri. Tubuhnya yang luka-luka telah di larikan kawan-kawanya kesuatu tempat dan telah di kuburkan bersama-sama sebelas orang tadi tak lama sesudah ia gugur di tempat terjadinya penyerbuan itu di dapati kemudian dua belas buah kuburan baru.

            Demikian keluarga di Tiro pemimpin-pemimpin dewasa. Yakin para ulama terus menciut sehingga akhirnya tinggallah seorang lagi, Yaitu Teungku Mayét di Tiro.

            Anak itu bercerita.....
            Ia pasti tidak akan kecewa akan layanan yang di perolehnya dari pasukan. Di dalam perjalanan seringkali ia di dukung oleh komandan sendiri dan makanannya baik. Jika tidak ada pertempuran, serdadu-serdadu adalah orang baik-baik dan si anak  merasa senang sekali. Ia tampaknya cerdik walaupun masih kecil.

            Ia mulai bercerita tentang sepatu-sepatu bagus milik ayahnya. Kepada letnan yang sangat pasih berbicara bahasa daerah ia bertanya:  “ Apakah engkau orang Aceh juga?” ketika sang letnan membenatkan pertanyaannya itu, sahut si anak : “ itu tidak benar, sebab engkau memakai sepatu”
            “ Tetapi bukankah ayahmu juga memakai sepatu?”
            Sejurus lamanya anak itu berdiam diri. “Walaupun begitu, engkau seorang kaphé, sebab engkau memakai kain pembalut betis  bld puttee) dan ayahku tidak memakainya”.
            Demikianlah di tetapkan, bahwa dalam pengejaran selanjutnya pasukan juga harus memperhatikan jejak-jejak sepatu.
            Anak itu di besarkan di hutan dan semua keadan di kampung terasa asing baginya. Ia berteriak ketakutan ketika melihat seekor sapi yang sedang makan rumput. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia melihat pohon kelapa. Sewaktu mendengar bahwa ia akan di beri nasi dan ia bertanya : “ Jadi tidakkah saya mendapat jagung ?”
            Lalu di tanyakan kepadanya dimana ia melihat jagung. Ia menjawab” di ladang”.
            “Dihulu hulu Alue Simi” Bercerita si anak..

            “ Letaknya tak beberapa jauh” katanya melanjutkan.
            “ Jika kita berangkat pada jam ini “ ia menunjukkan ke langit ketika matahari jam 9 pagi “maka kita kan sampai ke ladang jika matahari ada di sana”. Lalu dengan isyarat baru ia menunjukkan ke langit ketika matahari berada jam 1 siang.
            Jadi ayahnya memakaib sepatu : ladangnya berada di sana .... dan kadang-kadang terdapat keterangan-keterangan yang kurang lengkap untuk menangkap seorang kepala penentang di dalam hutan.  Memang benar, bahwa ayahnya itu tewas tak jauh dari ladang Alue Simi, Tetapi sesudah beberapa bulan kemudian ia memperoleh satu jangka panjang waktu yang cukup panjang. Masibnya telah di perpanjang hingga beberapa ratus hari lagi. Dan pada hari-hari itu keluarga terakhir para ulama Tiro yang gagah berani dan tak kenal damai itu hidup di tempat persembunyian yang terpencil sekali sebagai seorang saleh, seakan-akan ia telah bersatu dengan Tuhannya . . .


                                                            ******



ULAMA TIRO YANG TERAKHIR

            Berhari-hari lamanya Schmidt menunggu dengan sabar di posnya di Tangse dan setiap kabar yang berhubungan dengan Teungku Mayét di Tiro mendapat perhatian yang seksama.

            Hasilnya tampaknya tak begitu banyak. Penduduk yang menaruh hormat kepada pemimpin terakhir keluarga pejuang itu besar semuanya berdiam diri. Sungguhpun demikian ada di terima sebuah berita yang agak memberikan harapan karena sesuai dengan keterangan anak yang di tangkap dahulu yang pernah bercerita tentang tempat persembunyian orang menanam jagung. Di samping ini : Keuchik Bén Tangsé, menurut adat istiadat lama, harus menyerahkan seekor pada akhir bulan puasa kepada Teungku Chik Mayét di Tiro untuk kenduri dan ini harus di bawa ke tempat persembunyian.

            Schmidt yang mengenal juga kelemahan-kelemahan watak orang Aceh memberikan uang untuk membeli seekor sapi yang akan di ambil oleh dua orang anggota lawan untuk di bawa ke dalam hutan. Kepada kedua orang itu di berikan waktu dua hari lamanya dan Schmidt telah memperhitungkan jejak-jejak mereka.

            Tanggal 31 Agustus Schmidt berangkat dengan pasukannya tepat sesudah dua hari kedua orang tadi membawa sapi ke dalam hutan. Demikianlah harus dilakukan lawan-lawan terhormat.

            Beberapa hari lamanya pasukan melakukan pencarian tetapi tanpa membawa sesuatu hasil apapun. Mereka melintasi gunung-gunung dan memotong berbagai-bagai jalan.

            Tanggal 1 September, sewaktu pasukan sedang ,mencari-cari dekat Krueng Balé, seorang pencari jejak terkenal bernama Nussy, melihat sebuah bekas tapak kaki dan sewaktu ia membuang daun-daun yang menutupi jalan kedapatan juga bekas kaki sapi. pasukan kini berada pada “bekas” yang sebenarnya walaupun orang-orang Aceh sering kali juga membuat bekas-bekas palsu dan membawa sapi berkeliling sampai beberapakali serta menutupi semua bekasnya dengan daun-daun kayu ataupun menyiramnya dengan air, namun semua anggota pasukan ini sudah berketetapan hati atas penemuan itu seperti anjing berburu yang sedang mencium bau seekor rusa.

            Jauh hari Tanggal 3 September 1910 di ketahuilah tempat-tempat persembunyian yang di cari-cari itu. Penyergapannya tidak membawa hasil yang di harapkan karena seorang marsosé muda yang belum            berpengalaman di barisan muda telah melepaskan tembakan karaben kepada seorang Aceh yang kebetulan di jumpainya, suatu pekerjaan yang sebenarnya harus di selesaikan dengan kelewang bisu.

            Pasukan penentang melarikan diri dan untunglah barisan muka dapat melihat seorang laki-laki gemuk dan tegap badannya memakai jas hitam dan topi, di ikuti beberapa orang di bekakangnya sedang memotong arah lain daripada kawan-kawannya. Sewaktu melakukan pengejaran di ketahuilah, bahwa laki-laki itu memakai sepatu seperti yang di ceritakan si anak, dan pada tanggal 5 September , sesudah dengan bersusah payah di adakan perburuan melalui daerah-daerah liar yang kadang-kadang tak dapat di lalui, tampakkah pada sebuah kaki gunung “ seorang laki-laki tegap dengan jas hitam memakai topi” sedang beristirahat mrngepit sebuah keraben diantara kedua lututnya. Mungkin sekali ia dalam keadaan lelah ataupun telah merasa kehabisan tenaga karena telah berbulan-bulan lamanya ia di buru. Dalam keadaan demikianlah ia duduk di kaki gunung seraya memandang ke depan. Mungkin sekali jiwanya itu melihat hal-hal yang tak di lihat oleh matanya sendiri. Pasukan mengadakan pengepungan dan sewaktu karaben melepaskan serentetan pelurunya, gugurlah ulama Tiro terakhir  dengan dua peluru di jantungnya.
           
            Ketika mayatnya di bawa ke Tangsé setelah luka-lukanya di balut dengan kain oleh penduduk kain-kain itu di robek-robek hingga menjadi carikan-carikan kecil dan adalah suatu kemuliaan sekali bagi siapa-siapa yang dapat memiliki kain yang berlumuran darah itu .
            Benda-benda keramat ini masih ada di Tangsé dan di simpan dengan sangat rahasia sebagai kenang-kenangan kepada kepala keluarga Tiro terakhir.

            Jenazah Teungku Chik Mayét di Tiro di pusarakan dekat masjid di Tangsé dan jika ada orang yang mengetahui hal ini, Maka menjawablah Uléébalang Tangé bahwa ia tidak mengetahui apa-apa tentang hal itu. Sebab hal ini adalah haram untuk di ketahui orang-orang asing. Beberapa kali saya mencoba membuat foto pusara itu, tetapi  penduduknya menaruh keberatan.

            Dari keluarga Tiro kini tinggallah seorang pemuda, Berumur lebih kurang enam belas tahun. Selebihnya ada beberapa orang saudara yang karena perkawinan telah menjadi keluarga pra ulama Tiro. Dan di samping itu mungkin bersama dia, masih berkelana Teungku Teupin Wan yang sangat terkenal itu.



                                                            *******
           










            SEORANG KERAMAT

            Jumlah pejuang-pejuang Aceh yang sejak pecah peperangan di Aceh  sangat memusuhi belanda (hal ini m asih terdapat hingga tahun belakangan ini dan mereka itu selalu berhasil berada di luar kontak dengan kompeuni) menjadi semakin berkurang. Pengejaran-pengejaran yang tidak henti-hentinya di lakukan terhadap mereka semenjak perang gerilya telah menyebabkan mereka memperoleh kesempatan pahit dalam bergerak.

            Dalam hubungan ini perlu di sebut nama Teungku di Cot Plieng, seorang tokoh yang sangat masyhur, yang mayatnya-menurut cerita-cerita Aceh-tidak mengalami sesuatu kerusakan walaupun sudah berumur beberapa hari lamanya. Ia memiliki “Ranté Bui”      (=rantai babi) dan kini rantai babi tersebut di simpan dalam kumpulan benda-benda Aceh di “Kolonial Museum”(=musium kolonial) di Amsterdam.       

            Di samping ini ada lagi seorang yang tidak kurang masyhurnya, yakni habib Teupin Wan, juga terkenal dengan panggilan Syarif Habib. Ia sebenarnya berasal dari VII mukim Ateuk, daerah Aceh Besar sewaktu Kompeuni mellakukan operasi besarnya di sana. Ia telah berpindah ke keumala tempat kediaman Sulthan; akhir sekali ia berdiam di gunung-gunung dekat Tangsé. Ia tidak mau berhubungan. Baik dengan pemerintah Belanda maupun dengan tentara dan ia terus juga menganjurkan supaya oraang bertahan dengan perang suci.
            Ia seorang yang sangat besar pengaruhnya; sesudah hilangnya orang-orang besar, seperti habib Abdurrahman el Zahir dan Habib Samalanga, maka gelar terakhir telah berpindah kepadanya. Tokoh sejarah ini yang tidak pernah mengenal damai sejak di mulainya peperangan di Aceh masih tetap mempertahankan namanya seperti sediakala. Ia seorang yang sangat keramat dan menurut cerita, barang siapa yang berani menunjukkan dengan tangannya itu menjadi kaku
            Keluarga orang-orang ternama menyerahkan anak-anak mereka kepadanya untuk belajar mengaji Qur’an. Tokoh-tokoh besar Aceh di sekelilingnya banyak yang telah gugur, tetapi ia masih tinggal sebagai sebuah atap keramat yang kokoh yang menjadi puncak penghubung semua masa peperangan yang pahit, sehingga penduduk menganggapnya laksana seorang yang di lindungi Allah.

            Pada tahun 1907 dan tahun-tahun berikutnya ia dan pengikut-pengikutnya selalu berhubungan dengan para ulama Tiro yakni sebuah inti kelompok pememtang yang ideal yang semakin menciut jumlahnya, yang tak pernah mau di tundukkan atau berkempromi. Anaknya bernama Habib Cut (= habib kecil atau habib muda) berada dengannya.

            Sewaktu pasukan belanda pada 21 Mei 1910 berhasil menghancurkan pasukan papa ulama Tiro dan menewaskan Teungku Béb, gugur pula habib Cut dan sesudah itu sang ayah bersama-sama pengikutnya meneruskan perjalanan  sendiri. Sesudah meninggal anaknya itu ia menjadi semakin saleh, nilai harta benda duniawi semakin tidak berarti baginya dibandingkan dengan keagungan cahaya abadi.

            Pada bulan September 1911, hari raya jatuh tanggal 25 dan beberapa orang pengikut habib pergi ke sebuah kampung di Tangsé untuk merayakannya. Hal ini diketahui orang pada tanggal 27 September berikutnya berangkatlah sebuah pasukan, tediri dari 30 anggota marsosé di bawah pimpinan Schmidt untuk membauni jejak pengikut habib yang telah kembali, dengan pengharapan bahwa “sebentar” lagi mereka akan menjadi ulama Tiro yang terakhir.

            Pada hari berikutnya pasukan tidak berhasil menemukan bekas-bekasnya, orang-orang Aceh sangat bertindak hati-hati, mereka menghilangkan bekas-bekas itu dengan air atau dengan kotoran-kotoran daun.

            Tanggal 29 pasukan bergerak di sepanjang sebuah alur, bernama Alue Blang Jeureuloh dan dari situ mereka menebang kayu-kayuan untuk sebuah jalan kecil melalui  sebuah lereng yang lebat hutannya. Di sana mereka menjumpai bekas-bekas tapak-tapak kaki yang bersimpang siur. Tanpa bersuara pasukan mengikuti tapak-tapak kaki itu sampai ke sebuah jalan kecil yang ramai di lalui orang. Tampak sebatang pohon bekas di tebang mungkin untuk kayu api sedang dari belukar-belukarnya telah di potong dauin-daunnya untuk atap. Jelaslah bahwa tempat persembunyian lawan terletak di sekelilingnya.

            Pasukan bergerak terus sehingga seorang di barisan muka yang melalui semak-semak dapat melihat atap sebuah pondok segera ia merebahkan dirinya ke tanah bersama teman-tamannya yang lain.

Schmidt memberikan isyarat dan semua anggota pasukan meletakkan ranselnya ke tanah sebahagian dari mereka itu mendekait bukut dengan hati-hati sekali unutk memeperhatikan dengan jelas tempat persembunyian tanpa dapat di lihat oleh lawan.

            Dalam pada itu seorang pasukan di barisan muka yang meniarap maju seperti seekor ular dapat melihat kedudukan tempat persembunyian dengan isyarat berbicara tentu saja di larang ia menyatakan telah dapat di lihat dua buah pondok tetapi tidak ada penghuninya. Kemudian komandan memutuskan untuk mencari pondok lain yang ada penghuninya yang menurut pikirannya tidak jauh letaknya dari tempat itu. Dengan menyembunyikan peluit tiga kali pendek-pendek ia memperingatkan anggota-anggota pasukan untuk bergerak. Kemudian ia pun maju ketika tiba-tiba terdengar suara-suara orang, sementara pasuka telah berada di muka enam buah pondok yang tadinya berkeliaran.

            Dekat pondok-pondok itu berdiri sekelompok,terdiri dari lima belas orang Aceh pemimpinnya seorang tua yang telah beruban yang menggenggam sebilah keris di sebelah tangannya, sedang di tangan lainnya sebuah revolver. Di kiri kanannya berdiri anggota-anggotanya dengan senapang dan sebuah senapang locok, selebihnya mereka bersenjatakan kelewang. Seperti ternyata kemudian, pasukan lawan itu telah dikejutkan oleh bunyi peluit, namun mereka tidak melarikan diri. Pemimpin tua itu berpikir sejenak dan pada saat-saat itu ia dapat mengukur jangka waktu kehidupannya. Pilihannya ialah gugur sebagai seorang syahid.

            Dengan kepalanya yang telah beruban orang tua berdiri di hadapan pengikut-pengikutnya sementara matanya terus memperhatikan sikap anggota-anggota pasukan kompeuni yang bermunculan dari semak-semak. Ia tidak memperlihatkan sikap bimbangnya walaupun sesaat dan pengikut-pengikutnyalah yang memulai pertempuran mereka bertekad hendak gugur bersama-sama pemimpin mereka. Hanya beberapa butir peluru saja yang berkata-kata dalam bahasa dusta. Dan ketika anggota-anggota marsosé mengayunkan kelewang-kelewang mereka menyerbu ke arah pemimpin tua itu serta pengikut-pengikutnya, maka adegan pertempuran itu segara pula berakhir,walaupun pihak lawan bertempur dengan gagah berani sekali.

            Demikianlah habib Teupin Wan gugur, seorang keramat serta delapan orang pengikutnya dan dengan itu tamat pulalah satu babak buku peperangan yang sangat menarik.

            Kini hanya tinggal lagi Teungku Chik Ma’at di Tiro, seorang cucu Teungku Syéh Saman yang agung itu.


                                                            ******


PUTERA SANG AYAH

            Jumlah pasukan lawan menjadi semakin menipis dan tak seorangpun dari para pengikut Tiro yang berpikir akan tewas selain di dalam peperangan suci. Mereka mempercayai teguh apa yang di tentukan Allah yakni: Takdir dan mereka seolah-olah dapat melihat bahwa kehidupan di belakang yang penuh beraneka ragam perjuangan dan kesengsaraan ini bersinar cahaya sorga yang indah gemerlapan.

            Dalam pertempuran pada tahun 1911 telah gugur dari keluarga Tiro: Teungku Hasyém, ipar Teungku Syéh Saman di Tiro dan menantu laki-lakinya bernama Teungku ulée Tutue; di samping itu seorang ulama bernama Teungku di Cot Minyeuk, berasal dari Aceh Besar.

            Yang masih bertualang di hutan-hutan belantara kini hanyalah seorang pemuda kecil bernama Teungku Chik Ma’at di Tiro, Putra Teungku Chik Amin yang gugur pada tahun 1896 dalam mempertahankan kubu Aneuk Galông, jadi cucu ulama besar di Tiro yang pernah memperingatkan Residen supaya memeluk agama Islam.

            Sungguh sangat banyak darah keluarga di Tiro yang telah tumpah. Cara melumpuhkan mereka itu di rasakan kejam sekali, sehingga Schmidt mencoba sekali, lagi untuk menolong pemuda yang berumur enam belas tahun itu. Usaha ini tidak semudah yang di pikirkan kebencian mereka untuk hidup dengan belanda penaka daya baju ziarah yang tembus daya upaya memuat jaminan kehidupan mereka serta perlakuan sesuai dengan kedudukan mereka yang memuat jaminan kehidupan mereka serta perlakuan sesuai dengan kedudukan mereka tidak pernah berbalas dan di temukan kembali pada mayat-mayat mereka.

            Kendatipun demikian harus pula di coba suatu usaha lagi; keberanian serta ketetapan hati pihak lawan sungguh-sungguh mempesona kita , sehingga timbul pikiran, bahwa di pihak belanda sudah cukup di lakukan usaha ke arah itu, bahkan lebih dari pada cukup.

            Schmidt memperoleh keizinan jendral Swart untuk mencobanya lagi, lalu ia bertindak sebagai berikut:

            Untuk itu ia menemui seorang Aceh yang terpandang dan loyal, seorang anggota meusapat di Sigli bernama Teungku Teupin Raya; dari orang ini ia memperoleh nasihat supaya mengadakan hubungan dengan janda Teungku Ulée Tutue tadinya kawin dengan putri Teungku Syéh Saman di Tiro, jadi Makcik pemuda tersebut.

            Pada kesempatan ini di ketahuilah betapa tidak benarnya anggapan sementara orang tentang adanya tuntutan bela antara seorang Islam dengan seorang kristen. Untuk seorang Islam yang fanatik, kedudukan orang bukan islam kira-kira antara seekor babi dengan seekor anjing yang berpenyakit kurap; menuntut bela hanya mungkin antara sesama orang islam saja. Jadi seorang Aceh tidak akan menuntut bela atas kerugian-kerugian atas di derita oleh keluarga-keluarganya di dalam pertempuran dengan kita; ia mempunyai alasan lain untuk dendam itu.

            Sewaktu Schmidt menyatakan kesangsiannya,bahwa tidak mungkin untuk menemui janda seorang pejuang yang lima bulan lalu  tewas di sebabkan oleh peluru-peluru serdadu-serdadunya, Teungku di teupin raya berkata “Wanita itu tidak mungkin berhati jahat terhadap tuan. Bahwa suaminya telah gugur di dalam peperangan suci, itu adalah kemauannya sendiri dan ini adalah suatu keuntungan besar dari Allah baginya. Tuan hanyalah sebuah sarana dalam tangan Allah untuk mengantarkannya ke surga”.

            Lalu Schmidt mengirimkan sebuah surat kepadanya dengan kata-kata hormat yang mengandung pengharapan, agar wanita itu mau menemuinya di Sigli dan kepada Teungku di tugaskan untuk menyampaikannya.

            Siang harinya datanglah ia dengan berseluar hitam dan baju berkancing emas; juga selendangnya berwarna hitam dan ubannya tampak memutih laksana salju. Cucu ulama Tiro yang agung ini berwajah tampan, benar-benar mewakili keluarganya yang masyhur itu. Dengan mata tegak ia melihat lurus-lurus ke mata sang perwira.

            Schmidt menawarkan kursi kepadanya iapun duduk. Sesudah mengucapkan kata-kata hormat selaku pendahuluan yang menjadi kebiasaan menurut kedudukan wanita itu, sampailahSchmidt kepada maksud pembicaraannya itu.

            “Saya di tugaskan untuk menangkap dan menembak mati pemuda itu. Tetapi merasa sayang untuk berbuat yang demikian itu sebab ia keturunan orang baik-baik. Oleh karena itu saya mohon sudilah nyonya menemuinya dan berbicara dengannya.

            Ia tidak ada  berbuat sesuatu kejahatan dan jika ingin melapur dengan menyerahkan senjata-senjatanya, maka ia tidak akan di apa-apakan. Ia pun tidak akan di hukum dan akan di perlakukan sesuai dengan martabat keturunannya. Sukakah nyonya menolong saya?”.

            “Saya akan mencoba” sahutnya lalu iapun pergi ke Tangsé. Ia tahu segera tempat pemuda itu bersembunyi, suatu hal yang tetap tidak akan dapat di cium oleh Schmidt, walau bagaimanapun dalamnya pengetahuan Schmidt dalam bahasa Aceh dan besarnya sumber uang yang dimilikinya serta jumlah mata-mata yang telah di lepaskannya. Wanita itupun tidak menerangkan rencana usahanya, namun di pihak tentara sudah sepakat untuk tidak mengirimkan patroli selama wanita itu belum kembali, sedang perjalanannyapun tidak di perhatikan.

            Malam itu ia pergi dari Tangsé dan memasuki hutan. Beberapa hari telah berjalan dan Schmidt menunggu dengan penuh ketegangan akan jawaban yang akan di bawakan wanita itu. Kemudian ia kembali ke Tangsé dan sekali lagi ia berdiri di hadapan perwira  Belanda itu, tenang dan satria.

            Ia hanya mengucapkan kata-kata: “ hana jalan, tuan . jih harok keu syahid lagée kujih!” (=tak ada jalan, tuan. Ia mmenginginkan syahid seperti ayahnya!)
            “Kalau begitu ia menyusahkan dirinya sendiri” berkata Schmidt, yang di jawab oleh wanita itu “ Teukeudi Allah”... (=takdir Allah)!

            Schmidt menyampaikan rasa terimakasihnya yang di jawab dengan penuh hormat oleh wanita itu, kemudian ia pergi dari  situ. Atas biaya-biaya yang di keluarkannya wanita itu tidak ingin menerima ganti ruginya. Ia telah bertindak semata-mata hanya karena ingin menolong menyampaikan pesan saja, sementara tak sedikitpun ia menyangsikan jawabannya. Apa arti perwira ini serta orang-orangnya ?  Apakah yang dapat mereka lakukan? Tak ada sesuatupun yang tidak di tetapkan oleh Allah dan mereka itu tidak lain adalah alat Allah semata-mata. Apa yang akan dan telah mereka lakukan, semua itu tak lain daripada pelaksanaan kehendak Allah semata-mata dan untuk memberikan rahmat kepada mereka yang berjalan pada jalanNya.

            Pada permulaan bulan Desember, beberapa hari sesudah gagalnya percobaan terakhir, datanglah berita bahwa seorang bernama Pang Cut, anggota pasukan Tiro, dalam menghadapi hari raya puasa telah turun ke bawah dan kemudian naik lagi ke gunung dari kampung Kuala Krueng.

            Tanggal 3 Desember berangkatlah brigade 5 dan 6 di bawah pimpinan Schmidt. Mereka menemukan jejak-jejak yang menuju ke Arah Alue Bhot. Di sana banyak sekali jejak kaki sepasukan kecil lawan yang baru habis makan durian hutan. Dari sini di kirimlah anggota-anggota pasukan ke berbagai-bagai arah untuk mengetahui arah yang sesungguhnya. Kemudian mereka kembali dengan membawa khabar baik, kecuali pencari jejak terkenal bernama Nussy yang tidak kembali, sesudah beberapa waktu lamanya terdengarlah bunyi peluit yang menandakan, bahwa pasukan boleh mengikutinya. Untuk memberikan isyarat schmidt  menggunakan peluit suara burung yang selalu di pakai oleh komandan brigade yang bunyinya menyerupai kicau burung. Dalam pada itu dua orang marsosé sedang mencari seorang karyawan tertinggal di bawah dan sewaktu mereka menemukannya, seorang di antaranya memberikan juga isyarat, tetapi dengan nada biasa yang melengking.

            Nussy yang bersembunyi dalam semak-semak di lereng bukit mendengar isyarat itu dan tak lama kemudian ia melihat di semak-semak di bawahnya sebuah gerakan yang di sangkanya teman-teman sendiri.

            Tiba-tiba ia melihat dahan-dahan kayu di patahkan ke pinggir dan seorang pemuda Aceh berbadan ramping dengan tangkulók (=kain ikat kepala) yang terbuka indah dan sebuah revolver di tangannya tampak sedang mendakib lereng bukit.
            Seorang veteran seperti Nussy tentu saja tahu apa yang harus dilakukannya; ia tidak bergerak-gerak sedikitpun dan terbenam lebih dalam ke bawah dengan jarinya pada pelatuk senapang.

            Sesudah pemuda itu keluar, maka keluar pula dua orang lainnya dari hutan dan dari semak-semak yang bergerak-gerak itu ia melihat muncul beberapa orang lagi di belakangnya. Nussy membiarkan mereka lebih dekat lagi maju ke muka sehingga ia dapat memastikan tembakannya. Pelurunya yang pertama mengenai pemuda itu yang seketika itu juga menjatuhkan revolvernya dan tersungkur ke bawah. Akan tetapi ia bangkit kembali dan lari cepat sekali menuruni lereng  bukit seraya membawa revolvernya. Peluru Nussy yang ke dua menewaskan salah seorang lainnya dan ketika itu juga ia berteriak dengan suara yang nyaring sekali menurut cara Arafura yang merupakan teriakan kemenangan.dengan segara berlarilah anggota-anggota marsosé lainnya ke depan sambil melepaskan tembakan yang mengenai pemuda tadi yang memang telah tertembak oleh peluru-peluru Nussy.

            Dari cincin yang terdapat di pinggangnya diketahui, bahwa pemuda itu adalah Teungku Ma’at; ia gugur seperti ayahnya dalam peperangan suci di Aneuk Galóng.

            Teungku Ma’at adalah seorang pemuda berkulit putih yang cantik parasnya; ia mengenakan celana hitam yang bersulam benang sutera dan baju hitam berkancing emas. Ia memakai tangkulók sutera merah dan sewaktu meninggal ia memegang revolvernya di tangan kananya. Salah satu peluru yang ditembak ke jantungnya, matanya yang terbuka seolah-olah masih melihat ke langit biru jauh tinggi di atasnya.

            Demikianlah keinginannya itu telah terpenuhi: syahid seperti ayahnya. Kematiannya itu telah mengakhiri suatu kisah para ulama di Tiro yakni kelompok orang-orang kuat yang tak kenal damai, yang telah menghina kita dengan menjewer telinga kita pada masa-masa kita berada dalam keadaan lemah. Mereka itu telah gugur seperti mereka hidup gagah dan tak gentar sewaktu tentara kita memperoleh kembali kepercayaan pada dirinya.

            Sejenak Schmidt berdiri dengan anak-anak buahnya serta berdiri dengan hormat dekat jenazah “ putra sang ayah”, seorang Aceh yang jujur seperti banyak mereka yang lainnya dikagumi serta di hormati juga oleh mereka yang menang.

            Dalam laporan yang di akhiri tanggal 9 Desember di bubu keterangan “ Ditembakkan 72 butir peluru. Diserahkan 11 buah longsong dan 4 buah perangkai peluru”.
Hilang: 61 kelongsong dan 11 perangkai peluru”.
Karena urusan tatausahanya harus cocok jika pelur-pelurunya telah mencapai sasarannya, maka penanggung jawab ketentaraan berhak menerima kembali kelongsong-kelongsong yang kosong.

                                                            *****





TENTANG PENULIS


            Hasan Muhammad Tiro lahir di Tanjong Bungong, Lamlo, Pidie, Aceh pada tahun 1923. Pendidikannya dimulai dari sekolah rakyat ( SD pada waktu itu ) lalu melanjutkan ke Madrasah Blang Paseh yang didirikan Abu Daud Beureu-eh pada tahun 1938. Dia sekelas dengan Hasan Saleh, tokoh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
            Untuk membina mentalnya, Abu Daud Beureu-eh mengirimnya ke normal School, Bireuen Aceh Utara. Sebuah perguruan yang di pimpin oleh Muhammad El-Ibrahimy. Tiro lalu muncul menjadi ketua Barisan Pemuda Indonesia(PBI) Kecamatan Lamlo, Pidie. Di lamlo pula Hasan mengibarkan bendera Merah Putih, dan membuat pernyataan atas nama Keluarga Tiro sebagai pendukung setia Republik Indonesia pada Agustus 1945.
            Setelah itu hasan Tiro dikirim ke Yogyakarta, dan Masuk Universitas Islam Indonesia (UII). Atas rekomendasi Abu Daud Beureu-eh, Hasan Tiro perkenalan dengan Syarifuddin Prawiranegara, dan bekerja di Republik Indonesia Sambil kuliah dari Tahun 1949 hingga 1951. Syarifuddin Merekomendasi Hasan Tiro Untuk Berangkat ke Amerika dan bekerja di kantor perwakilan Indonesia di PBB, dari 1951 hingga 1954.
            Di amerika Hasan Tiro mendengar Abu Daud Bereu-eh bergabung dengan DI/TII, maka iapun ikut, pada Tahun 1954. Nama Hasan Tiro mulai di kenal Sejak dia membuat surat yang di tunjukan kepada Ali Sastroamidjojo. Isinya hentikan agresi TNI dan kekejaman terhadap rakyat Aceh, jawa barat dan Sulawesi”.
            Kini Hasan Tiro Tinggal di perkampungan Aceh di Kota Nodsborg, 20 Kilometer di selatan Stockholm, ibu Kota Swedia. Sejak tahun 1976 dia menjadi presiden Aceh Sumatera National Liberation Front (ASNFL) atau Gerakan Aceh Merdeka).


Tgk. Chik Di Tiro Wazir Sulthan

Teuku Chik Muhammad Saman Di Tiro, yang sejak pecah perang dengan Belanda pada tahun 1873, telah terjun aktif di medan tempur di Aceh Besar dan juga di Pidie pada saat Belanda menyerang Pidie dan menduduki benteng Kuta Asan di Pidie, Tgk. Chik Di Tiro Muhammad Saman memegang peranan penting. Kemudian pada tahun 1883, Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman diangkat menjadi wazir Sulthan Kerajaan Aceh Darussalam, urusan Perang Sabil. Tgk. Chik Di Tiro lah satu-satunya Menteri yang dijabat oleh orang dari daerah takluknya (Pidie). Selama 400 tahun Kerajaan Aceh berdiri. Setelah Tgk. Di Tiro Muhammad Saman meninggal dunia pada tahun 1891. Pemimpin Perang Sabil dengan persetujuan Sulthan dipegang oleh “Tgk. Chik Di Tiro Muhammad Amin” dan setelah Tgk. Di Tiro Muhammad Amin, Syahid di Aneuk galong pada tahun 1896, pucuk pimpinan Perang Sabil di pegang oleh Tgk. Chik Di Tiro Mahidin yang terus bergrilya dipegunungan sekitar Tangse.

Tgk. Chik Di Tiro Pemegang Kuasa Kesulthanan Aceh

Pada saat Sulthan Muhammad Daudsyah, terpaksa menyerahkan diri, pimpinan Kesulthanan Aceh dipercayakan kepada Panglima Polim dan Teungku Chik Di Tiro Mahidin, kemudian setelah Teuku Panglima Polim terpaksa menyerahkan diri pula seperti kasus yang dialami oleh Sulthan, karena di sandera keluarganya, kekuasaan pengendalian Kesulthanan Aceh dalam perjuangan, berada dalam tangan Tgk. Di Tiro Mahidin. Kekuasaan tersebut dipegangnya sampai beliau syahid pada tahun 1910 di Gunung Halimun tangse. Mayat Tgk. Chik Di Tiro Mahidin dikebumikan di komplek pemakaman keluarga besar Teuku Itam Tangse yang terletak di komplek Mesjid I Tangse.
Teuku Itam Bin Teuku Keumala Tahe juga seorang pejuang dan pendukung perjuangan kaum muslimin dibawah pimpinan Tgk. Chik Di Tiro Mahidin, dengan mengorganisir gerakan para pemuda dan Memfasilitasi pembacaan Hikayat Perang Sabil dirumahnya di Ujong Baroh Pulo Mesjid Tangse. Salah seorang Letnan Belanda ditikam mati depan rumahny oleh seorang pemuda Muslimin, pemuda binaan Teuku Itam . Teuku Itam ditangkap dan dibuang ke Betawi pada tahun 1915 kemudian dipindahkan ke Nusakambangan. Meskipun telah menyelesaikan masa tahanan selama 10 tahun, namun tidak diperkenankan pulang ke Aceh. Pada tahun 1939 Teuku Itam pulang menjenguk keluarga di Tangse, hanya 3 bulan saja berada di Tangse kemudian Belanda menangkap beliau dan ditahan di Kutaraja dalam status tahanan Kota. Selama tahanan Kota beliau menetap di rumah mendiang permaisuri Sulthan Mahmud Syah (Pocut Meurah) di Keudah Kutaraja.

Maklumat Ulama Seluruh Aceh

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, para ulama terkemuka di Aceh, yaitu Tgk. Muhd. Daud Beureueh, Tgk. Hasan Kroeng Kale, Tgk. Hasballah Indrapuri dan Tgk, Jakfar Siddiq Lambajat, mengeluarkan sebuah maklumat, yang dikenal dengan Maklumat Ulama Seluruh Aceh yang bertanggal 15 Oktober 1945 menyatakan bahwa perjuangan mempertahankan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia adalah sama dengan Perang Sabil, meneruskan perjuangan Teungku Chik Di Tiro.
Tgk. Umar Di Tiro, putera dari Tgk. Chik Di Tiro Mahadin, mendirikan pasukan Mujahidin pada bulan Nopember tahun 1945, Pemuda Hasan Muhammad Di Tiro, cucu dari Tgk. Mahadin Di Tiro ikut aktif memimpin organisasi BPI dan berperan dalam pengibaran bendera Merah Putih di Lam Meulo (lihat Hasan Muhammad Tiro. Demokrasi Untuk Indonesia hal. 211). Semuanya anak cucu Tgk. Chik Di Tiro pada waktu itu bersatu padu denga rakyat umum untuk meneruskan perjuangan suci Tgk. Chik Di Tiro. Aceh adalah satu-satu daerah yang masih merdeka pada waktu itu dan menjadi daerah modal perjuangan Republik Indonesia. Penyerahan Kedaulatan Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, adalah termasuk hasil perjuangan Tgk. Hasan Muhammad Tiro, yang pada waktu itu sebagai Sekretaris Mr. Syafruddin Prawira Negara, Kepala Pemerintahan Darurat di Aceh.

DR. Hasan Muhammad Di Tiro Pahlawan Reformasi

Sampai sekarang saya mencatat sudah 46 tahun sejak DR. Hasan Muhammad Di Tiro berjuang melawan pemerintahan Orde Lama – yang oleh Orde Reformasi sekarang ini – dianggap sebagai pemerintaahan yang zalim – diluar negeri sebagai Duta Besar Negara Islam Indonesia (NII) pada tahun 1954 dan kemudian dilanjutkan dengan perjuangan melawan Orde Baru – yang oleh Orde Reformasi juga digolongkan sebagai pemerintahan yang zalim – dengan memproklamirkan Gerakan Aceh Merdeka pada tanggal 4 Desember 1976, di daerah pegunungan Aceh dan diluar Negeri.

Perjuangan Dr. Hasan Muhammad Di Tiro melawan kezaliman dari pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru pada hakikatnya telah berhasil dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru dan lengsernya Presiden Suharto dari pucuk pimpinan negara.
Sekarang pada Periode Jeda Kemanusiaan ini sudah waktunya bagi orang-orang Aceh yang bukan munafik untuk bersatu padu memerdekakan rakyat Aceh dari intimidasi, penindasan, ancaman terror, penculikan dan pembunuhan oleh oknum-oknum orang-orang yang bersenjata dan sekaligus membebaskan Daerah Aceh dan rakyatnya dari cengkeraman tangan orang-orang yang telah menjadikan Aceh sebagai proyek yang empuk untuk digarap guna mengait keuntungan material maupun politis dan popularitas pribadi. marilah besama-sama membawa Aceh ini keluar dari Darul – Harb menuju Darussalam. Marilah kita jadikan Masa Jeda Kemanusiaan sekarang ini, yang pada hakikatnya merupakan Rahmat Tuhan yang tidak ternilai harganya, menjadi wacana untuk memulihkan dan memuliakan harkat, martabat orang Aceh, yang selama ini terinjak-injak dan untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional menuju perdamaian yang leastari.
Kepada Dr. Tgk. Hasan Muhammad Di Tiro sebagai cucu dari Tgk, Chik Mahyidin Di Tiro, saya menghimbau kembalilah ke tanah air untuk memimpin bangsa ini menuju kejayaan dan kemakmuran. Akan lebih bermakna dan akan “lebih besar manfaatnya daripada mudharatnya” jika anda berada di tanah air untuk memimpin bangsa dan negara tercinta ini. Anda akan disambut sebagai pahlawan oleh rakyat Aceh khususnya dan rakyat Indonesia umumnya, seperti rakyat Iran menyambut Imam Ayatullah Khumeni pada waktu Revolusi Iran meletus:            “Anda adalah Pahlawan Reformasi Bangsa”
Jika tulisan ini dapat sampai kepada para pembaca dan penulis diberi umur panjang, penulis merencanakan akan menurunkan sebuah tulisan lain, sebagai wacana pemikiran bagaimana caranya menyusun taktik dan strategi agar orang Aceh memperoleh kesempatan dan kemampuan untuk merebut kepemimpinan atau untuk memimpin Negara Indonesia yang sahamnya – telah diakui oleh Amin Rais – sebagian besar adalah milik orang Aceh, secara damai, demokratis tanpa pertumpahan darah. Meskipun untuk itu harus arif dan perlu menoleh kebelakang dan belajar memahami kembali arti dari nyanyian anak-anak Aceh tempo dulu, yang didendangkan sebagai berikut :
“Pok-pok le, Ma diblang Du Digle, pot boh me saboh karang, pot boh drang saboh tangke. Yang putik taproom dibak, yang masak tapajoh le”

Tgk. Chik Di Tiro Pemegang Kuasa Kesulthanan Aceh

Pada saat Sulthan Muhammad Daudsyah, terpaksa menyerahkan diri, pimpinan Kesulthanan Aceh dipercayakan kepada Panglima Polim dan Teungku Chik Di Tiro Mahidin, kemudian setelah Teuku Panglima Polim terpaksa menyerahkan diri pula seperti kasus yang dialami oleh Sulthan, karena di sandera keluarganya, kekuasaan pengendalian Kesulthanan Aceh dalam perjuangan, berada dalam tangan Tgk. Di Tiro Mahidin. Kekuasaan tersebut dipegangnya sampai beliau syahid pada tahun 1910 di Gunung Halimun tangse. Mayat Tgk. Chik Di Tiro Mahidin dikebumikan di komplek pemakaman keluarga besar Teuku Itam Tangse yang terletak di komplek Mesjid I Tangse.
Teuku Itam Bin Teuku Keumala Tahe juga seorang pejuang dan pendukung perjuangan kaum muslimin dibawah pimpinan Tgk. Chik Di Tiro Mahidin, dengan mengorganisir gerakan para pemuda dan Memfasilitasi pembacaan Hikayat Perang Sabil dirumahnya di Ujong Baroh Pulo Mesjid Tangse. Salah seorang Letnan Belanda ditikam mati depan rumahny oleh seorang pemuda Muslimin, pemuda binaan Teuku Itam . Teuku Itam ditangkap dan dibuang ke Betawi pada tahun 1915 kemudian dipindahkan ke Nusakambangan. Meskipun telah menyelesaikan masa tahanan selama 10 tahun, namun tidak diperkenankan pulang ke Aceh. Pada tahun 1939 Teuku Itam pulang menjenguk keluarga di Tangse, hanya 3 bulan saja berada di Tangse kemudian Belanda menangkap beliau dan ditahan di Kutaraja dalam status tahanan Kota. Selama tahanan Kota beliau menetap di rumah mendiang permaisuri Sulthan Mahmud Syah (Pocut Meurah) di Keudah Kutaraja.

Maklumat Ulama Seluruh Aceh

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, para ulama terkemuka di Aceh, yaitu Tgk. Muhd. Daud Beureueh, Tgk. Hasan Kroeng Kale, Tgk. Hasballah Indrapuri dan Tgk, Jakfar Siddiq Lambajat, mengeluarkan sebuah maklumat, yang dikenal dengan Maklumat Ulama Seluruh Aceh yang bertanggal 15 Oktober 1945 menyatakan bahwa perjuangan mempertahankan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia adalah sama dengan Perang Sabil, meneruskan perjuangan Teungku Chik Di Tiro.
Tgk. Umar Di Tiro, putera dari Tgk. Chik Di Tiro Mahadin, mendirikan pasukan Mujahidin pada bulan Nopember tahun 1945, Pemuda Hasan Muhammad Di Tiro, cucu dari Tgk. Mahadin Di Tiro ikut aktif memimpin organisasi BPI dan berperan dalam pengibaran bendera Merah Putih di Lam Meulo (lihat Hasan Muhammad Tiro. Demokrasi Untuk Indonesia hal. 211). Semuanya anak cucu Tgk. Chik Di Tiro pada waktu itu bersatu padu denga rakyat umum untuk meneruskan perjuangan suci Tgk. Chik Di Tiro. Aceh adalah satu-satu daerah yang masih merdeka pada waktu itu dan menjadi daerah modal perjuangan Republik Indonesia. Penyerahan Kedaulatan Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, adalah termasuk hasil perjuangan Tgk. Hasan Muhammad Tiro, yang pada waktu itu sebagai Sekretaris Mr. Syafruddin Prawira Negara, Kepala Pemerintahan Darurat di Aceh.


Banda Aceh awal Juli 2000
T.A. Ben Peukan Tangse

*) Penulis adalah mantan Kepala Dinas Perikanan Propinsi D.I Aceh tahun 1960 – 1982 dan anggota Tim pembantu Penguasa Perang dalam penyelesaian Keamanan di Aceh tahun 1960).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar